> >

G30S, Thaib Adamy, dan Pembunuhan Massal 1965 di Aceh (2)

Bbc indonesia | 23 Januari 2022, 16:52 WIB
Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S. (Sumber: Getty Images)
'Kakak sulung saya dibunuh, kakak nomor dua hilang'

Dilahirkan di kota Idi, Thaib Adamy — tahun kelahirannya tidak pernah diketahui — kelak menikahi Samiah, dan memiliki sembilan anak.

Dia tinggal di Banda Aceh selama menjabat salah-satu pimpinan PKI dan anggota DPRD setempat sejak akhir 1950an.

Getty Images
Markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta, pada 8 Oktober, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul Peristiwa G30S.

Selama gelombang pembasmian atas orang-orang komunis di Aceh setelah 1 Oktober 1965, Thaib 'kehilangan' Yusni dan Yasrun — anak pertama dan keduanya.

Yusni — berusia 19 tahun dan siswa sekolah menengah atas — dibunuh secara brutal oleh massa antikomunis saat mempertahankan rumah orang tuanya dari aksi penjarahan.

"Waktu penjarahan itulah, abang saya paling tua dibunuh dengan bambu runcing. Lehernya bolong," ungkap Ady dengan kalimat datar.

Saat kejadian, Thaib Adamy dan anak kedua, Yasrun, sudah meninggalkan Banda Aceh, sementara istri dan anak-anaknya yang lebih kecil 'diungsikan' ke Kota Idi di pesisir timur Aceh.

Jenazah Yusni ditemukan di sebuah rumah sakit, namun tidak diketahui di mana dia dikuburkan. "Tidak ada yang berani menanyakan saat itu."

Adapun Yasrun — berusia 18 tahun — "hilang" saat menemani ayahnya dalam perjalanan meninggalkan Banda Aceh menuju Kota Takengon di Aceh Tengah, ungkap Setiady.

Mereka "terpisah" setelah bus yang mereka distop oleh sekelompok orang di jalan menuju Takengon.

Thaib digelandang dan ditahan di Banda Aceh sebelum akhirnya dieksekusi, namun tidak diketahui nasib Yasrun.

Ada informasi yang menyebut Yasrun pernah dipergoki berada di Kota Medan di masa-masa sulit itu, namun dia disebutkan memilih menjauh, ungkap Ady.

"Beberapa bulan lalu, saya mimpi kakak saya ini datang ke rumah," katanya. Ady berulang kali menggarisbawahi bahwa Yasrun statusnya "hilang".

Baca juga:

'Ibu dan anak-anaknya 'diselamatkan' polisi dari razia anti-komunis di Idi'

Ketika orang-orang komunis diburu dan sebagian dibantai di Aceh, istri Thaib Adamy, Samiah — saat usia kandungan di perutnya sekitar tujuh bulan — dan enam anaknya yang masih bocah, diungsikan keluar dari Banda Aceh.

Setiady masih ingat apa yang terjadi di sekitar rumahnya di Banda Aceh pada hari-hari setelah peristiwa G30S.

"Esok harinya, saya melihat unjuk rasa di jalan di depan rumah. Mereka meneriakkan 'ganyang PKI, ganyang PKI'. Saya tidak mengerti apa yang terjadi," ungkapnya.

Malam harinya, ibu dan enam anak itu naik kereta api meninggalkan Banda Aceh — rumah Thaib Adamy yang berada di perumahan jawatan kereta api tak jauh dari stasiun kereta kota itu.

"Kita menuju Kota Idi, ke rumah kakek. Anak sulung, Yusni, menjaga rumah dan isinya," kata Ady.

Setiba di Kota Idi, ibu dan anak-anak 'diselamatkan' seorang pejabat kepolisian yang kebetulan masih ada hubungan saudara, karena "ada razia terhadap orang-orang yang dituduh komunis".

"Saya masih ingat, kami dimasukkan sel agar selamat. Sepekan kemudian, setelah aman, ibu dan anak-anaknya dikembalikan ke rumah kakek saya," kisahnya.

Samiah dan anak- anaknya sempat singgah di Belawan, sebelum akhirnya menetap di Medan, Sumatera Utara, dalam kondisi ekonomi yang disebutnya serba pas-pasan.

"Kadang-kadang untuk makan, tidak ada uang," ungkap Ady, mencoba menggambarkan kondisi ekonomi mereka. Ady saat itu tinggal bersama keluarga ayahnya di Banda Aceh.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, anak ketiga yang masih duduk kelas tiga SMP, Maimun, berjualan koran. Di kota ini, mereka beberapa kali pindah rumah kontrakan.

Baca juga:

'Tentara menangkap ibu saya, karena dicap anggota Gerwani dan istri Thaib Adamy'

Memasuki kira-kira tahun ketiga atau keempat dalam 'persembunyiannya' di Medan, 'latar belakang' Samiah akhirnya terendus aparat.

Di sebuah malam, serombongan tentara menangkap Samiah di rumah kontrakannya, dengan disaksikan anak-anaknya yang masih bocah.

"Abang saya, Maimun, mau 'diangkat' juga. Cuma melihat adik-adik saya yang masih kecil tergeletak di dipan, abang saya akhirnya nggak jadi dibawa," ungkap Ady.

Setelah ditangkap, istri Thaib Adamy ini ditempatkan di rumah tahanan di Jalan Ghandi, Medan, tanpa proses peradilan. Dia ditahan karena pilihan politik suaminya dan dia sendiri dicap anggota Gerwani.

Nantinya dia dipindahkan ke penjara Sukamulya, lalu dipindah ke tempat penahanan di Jalan Binjai, Medan, dan berakhir di Tanjung Kaso.

"Di sanalah, ibu diizinkan jualan singkong goreng," ungkapnya. Sekitar 1969, setelah tamat SD, Ady kembali ke Medan dan ikut membantu ibunya berjualan.

Selama ibunya dipenjara, Maimun, Ady dan adik perempuannya, Dharma Dewi (kelahiran 1957), secara bergantian merawat empat adik-adiknya.

'Saya paling pilu mengingat pertanyaan adik: 'Mengapa ibu tidak pulang?''

Ketika mengungkapkan penahanan ibunya selama tujuh tahun dan kondisi adik-adiknya yang masih kecil, Ady tak mampu menahan tangis. Suaranya acap bergetar.

"Adik saya perempuan, kelahiran Desember 1965... Waktu ibu ditahan di Jalan Binjai, dia bertanya 'kenapa mamak tidak pulang? Ngapain di sini?'.... Itu saya paling pilu ketika melihat adik-adik..."

"Belum lagi kalau orang mencibir. Mereka masih kecil-kecil, sehingga sampai sekarang ada di antara mereka yang trauma," Ady tak kuasa menahan deraian air matanya.

BBC News Indonesia sempat mengajak Ady ke kota Medan dan bertemu salah-satu adiknya. Sang adik menangis saat kami temui dan menolak diwawancarai. Dia rupanya masih trauma.

Setelah sempat ditempatkan di kamp di Tanjung Kaso, Samiah akhirnya dibebaskan sekitar tahun 1977. Dengan demikian, dia 'dipisahkan' dari anak-anaknya sekitar tujuh tahun.

"Ibu saya tidak pernah diadili, padahal saya ingin mendengarkan [dakwaan atas ibunya]," ujarnya.

Samiah, sang ibu, tutup usia pada 1 Oktober 1984, ketika Ady tengah menyusun skripsi saat kuliah di IKIP Medan di jurusan olah raga.

Baca juga:


'Walau bapak saya pemimpin PKI di Aceh, dia wajibkan anak-anaknya salat'

Atmosfer Orde Baru yang melabel PKI sebagai 'hantu menakutkan' dan semua pengusungnya seolah-olah 'antiTuhan', membuat narasi alternatif tentang sosok Thaib Adamy tidak diberi tempat selayaknya.

Setidaknya hal itu dirasakan oleh salah-satu anaknya, Setiady. "Banyak fitnah yang ditimpakan pada ayah saya," ungkapnya.

Kepada BBC News Indonesia, dia kemudian mengungkap apa yang disebutnya sebagai fakta tentang ayahnya.

Mulai tuduhan ayahnya 'tak percaya Tuhan' hingga isu ayahnya menyimpan senjata sebagai persiapan perlawanan di Aceh. Berikut petikan penuturannya:

1. Isu Thaib Adamy ateis

Walau bapak menjadi pimpinan PKI di Aceh, anak-anaknya tetap diwajibkan salat lima waktu, menjalankan puasa Ramadan, dan mengaji al-Quran.

Kepada anak-anaknya, bapak dan ibu tidak pernah mengajarkan tentang ateisme. Atas didikan mereka, faktanya kami sampai sekarang meyakini adanya Tuhan.

Kalau ibu saya dikatakan aktif di organisasi Gerwani, ibu saat itu akan marah kalau anak-anaknya tidak menjalankan salat lima waktu.

2. Isu Thaib Adamy mengetahui peristiwa G30S

Saya berusia 10 tahun, ketika saya melihat bapak mendengar berita radio setelah 1 Oktober 1965, tentang apa yang disebut upaya kudeta di Jakarta.

Usai mendengar berita itu, bapak seperti kebingungan. Dia mondar-mandir di ruangan. 'Apa yang terjadi? Kenapa tidak diberitahu? Bukankah tidak ada rencana seperti ini?'

Sehari kemudian, bapak memberitahu ibu, seraya memeluknya. Dia bilang mau pergi bersama anaknya yang nomor dua, Yasrun. Anak nomor satu, Yusni, diminta jaga ibu dan adik-adiknya.

Bapak memberi pesan kepada ibu agar menjaga anak-anak dan rawat baik-baik. (Setiady menahan tangis). Bapak lalu pergi.

3. Isu Thaib Adamy menyimpan senjata di rumahnya

Saya sering mendengar informasi bahwa ayah saya disebutkan menyimpan senjata di rumahnya seolah-olah sebagai persiapan kudeta PKI di Aceh. Ini tidak benar, ini fitnah.

Sama-sekali tidak benar semua itu. Yang benar, di pekarangan di belakang rumah kami di Banda Aceh, memang kadang ditemukan granat yang sudah tidak berfungsi.

Rumah kami terletak di dalam kompleks PJKA, dan di belakang pekarangan rumah kami adalah gudang perbekalan militer.

AFP
"Rumah kami terletak di dalam kompleks PJKA, dan di belakang pekarangan rumah kami adalah gudang perbekalan militer," ungkap Setiady. (Foto: Monumen kokomotif dan gerbongnya berdiri di lokasi bekas stasiun kereta di Kota Banda Aceh).

Di bawah kolong gudang perbekalan militer itu, ada banyak ditemukan termos, granat yang tidak aktif lagi, sangkur. Saya bahkan mengambil sangkur atau granat itu dari sana.

Memang kalau ketahuan, kami bisa dimarahi, tapi namanya juga anak-anak. Saya memang yang sering main ke gudang itu dan membawanya untuk main-main saja.

Inilah kemudian dikatakan oleh rezim saat itu bahwa ditemukan granat di dalam rumah. Padahal bapak saya tidak pernah menyimpan senjata atau granat di rumah.

Saya tidak pernah melihat bapak menyimpan pistol. Kalau dia menyimpan senjata, kami akan tahu karena rumah kami ukurannya kecil. Perabot di rumah juga tak banyak.

Itulah sebabnya tuduhan rezim Orba itu fitnah belaka. Sebuah rekayasa untuk meyakinkan orang-orang di Aceh bahwa ayah saya berencana untuk melakukan pemberontakan.


Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.

Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.

Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.

Wartawan Sinarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan ini di kota Sigli, Aceh.

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU