> >

Beban Ganda Tenaga Medis Perempuan di Tengah Pandemi

Advertorial | 18 Desember 2020, 17:49 WIB
Tenaga medis perempuan di ruang isolasi Covid-18 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor. (Sumber: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Perempuan menjadi pilar penting dan garda depan negara dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Hal ini diperkuat dengan data yang merujuk lebih dari 70 persen tenaga medis dunia adalah perempuan. 

Demikian pula di Indonesia, menurut data WHO, jumlah perawat perempuan mencapai 71 persen dengan jumlah dokter perempuan seimbang di angka 50 persen, sementara semua bidan adalah perempuan.

Maka tidak berlebihan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI, Yudian Wahyudi, menyebut perjuangan perempuan dalam mengemban tugas ganda perlu mendapat apresiasi. Tidak hanya bekerja di rumah sakit, perempuan kerap menjadi tumpuan dalam urusan domestik.

“Pada saat mereka harus menanggung beban domestik, para tokoh perempuan tetap berkomitmen memberikan yang terbaik untuk komunitas dan bangsanya,” ujar Yudian, Kamis (17/15/2020).

Selain menjadi garda depan yang berhadapan langsung dengan virus, tenaga medis perempuan juga harus memastikan kesehatan keluarga di rumah. Mereka juga diharapkan mampu menjadi agen yang mengedukasi masyarakat sekitar mengenai Covid-19.

Padahal menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, di dalam tenaga medis perempuan juga terdapat kelompok rentan seperti ibu hamil dan menyusui. 

Namun, mereka tetap berusaha menjalankan tugas yang setara dengan tenaga medis laki-laki.

Baca Juga: Perjuangan Tenaga Medis Perempuan di Masa Pandemi

Hal serupa juga disampaikan salah satu Relawan Penanganan Covid-19 di Wisma Atlet, dr. Debryna Dewi Lumanauw. Menurut dr. Debryna, tidak ada perbedaan beban kerja di antara tenaga medis perempuan yang masuk dalam kelompok rentan dengan dirinya. 

Semua tenaga medis tetap menjalankan tanggung jawab masing-masing sebaik mungkin.

“Ini bukan tentang saya yang mungkin masih muda dan fisiknya lebih baik. Semua perempuan, nggak peduli usia berapa pun, nggak peduli dalam fisik apa pun, ada yang baru melahirkan juga waktu itu, ternyata kita semua masih kuat-kuat aja,” jelas Debryna. 

“Saya rasa kami melakukan pekerjaan dengan sangat baik di sana,” pungkasnya.

Perempuan paling rentan terpapar Covid-19

Tenaga medis perempuan memang merupakan sumber kekuatan. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terpapar virus Covid-19.

Debryna tahu, saat tenaga medis mengambil risiko untuk masuk ke zona merah, kesempatan terpapar menjadi terbuka lebar.

Di sisi lain, banyak tenaga medis perempuan telah berkeluarga dan memiliki tanggung jawab di rumah. Sesuai protokol, mereka harus melakukan karantina selama dua minggu sebelum keluar dari zona merah.

Selama 8 jam, tenaga medis perempuan harus menggunakan Alat Perlindungan Diri (APD) lengkap. Di dalam dekapan APD yang panas dan sesak, para tenaga medis tetap harus harus waspada terhadap risiko kerusakan APD. 

Karena itu, mereka bertanggung jawab untuk saling mengawasi keamanan APD satu sama lain.

Baca Juga: Kondisi Kesehatan 24 Tenaga Medis Terinfeksi Covid-19 Semakin Membaik

Di samping tanggung jawab sebagai tenaga medis, perempuan juga melewati siklus melahirkan. Sementara menurut Bidan Iin Rosita, menentukan status bebas Covid-19 untuk ibu hamil di desa masih sulit.

Hal ini menyebabkan banyak keraguan baik bagi perempuan yang bertugas sebagai bidan maupun ibu hamil.

Tidak hanya itu, informasi yang salah juga kerap terjadi sehingga menimbulkan kekhawatiran berlebihan dan banyak menyebabkan perubahan psikologi terhadap perempuan. 

Padahal selama pandemi, bukan hanya kesehatan medis yang harus dijaga tetapi juga kesehatan psikis.

Pentingnya sistem pendukung bagi perempuan

Untuk keluar dari situasi sulit, perlu kerja sama yang baik dari semua pihak. Tidak hanya dari tenaga medis, tetapi juga seluruh masyarakat.

Di tingkat lingkungan sekitar misalnya, Iin Rosita juga berperan sebagai agen sosialisasi di samping sebagai bidan. Tidak hanya itu, Iin juga membuka kesempatan bagi perempuan lain yang mau berkontribusi melalui Ojek Ibu Hamil.

“Ini semuanya perempuan, kita tidak ada kader laki-laki dalam Ojek Ibu Hamil. Alhamdulillah sekarang sudah ada di 13 desa dengan sukarelawan 40 kader,” ungkap Iin.

Ojek Ibu Hamil digagas Iin agar keamanan ibu hamil terjaga. Seluruh kader dipastikan dalam kondisi sehat dan mengerti tindakan apa yang harus diambil saat terjadi kondisi gawat di jalan.

Senada dengan tindakan Iin, PPPA juga mengingatkan bahwa kerja sama yang baik antara suami dan istri harus terjadi di dalam rumah. 

Meskipun perempuan sering mengambil peran dalam mengurus keluarga, menjaga anak merupakan tanggung jawab bersama yang harus juga dilakukan laki-laki.

Dengan support system yang kuat, beban perempuan bisa sedikit terangkat.

“Kalau ditanya apa perbedaan perempuan, kalau ditanya bagaimana seorang perempuan menyikapi kecapekan mental ini, saya rasa perempuan punya support system yang kuat,” ujar Debryna.

“Kita saling support satu sama lain. Kita saling ngobrol, saling curhat apapun itu. Jadi secara mental memang, semoga kami lebih kuat,” tutupnya.

Penulis : Elva-Rini

Sumber : Kompas TV


TERBARU