Kompas TV advertorial

Perjalanan Mencapai 23 Persen Dominasi Energi Bersih

Kompas.tv - 29 Oktober 2021, 17:40 WIB
perjalanan-mencapai-23-persen-dominasi-energi-bersih
Ilustrasi energi baru terbarukan. (Sumber: Getty Images)
Penulis : Elva Rini

JAKARTA, KOMPAS.TV — Pemerintah telah berupaya memberikan porsi lebih besar pada sumber energi terbarukan.

Namun dalam mengembangkan energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan, diperlukan keseimbangan dalam berbagai aspek, antara lain pasokan, permintaan, keekonomian, serta harus memperhatikan pengembangan minyak dan gas bumi.

Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, porsi energi terbarukan digadang-gadang sebanyak 51,6 persen dari jenis hidro, bayu, surya, panas bumi, dan biomassa. Sisanya berasal dari sumber energi fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas bumi.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan.

Kendati demikian, pengembangannya harus seimbang dengan energi fosil. Pasalnya, Indonesia belum bisa sepenuhnya lepas dari ketergantungan akan energi itu.

Hingga triwulan III-2021, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional diprediksi mencapai 11 persen. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam telekonferensi pers akhir pekan lalu.

Baca Juga: Mekanisme Co-firing Biomassa PLTU Jeranjang Gairahkan Ekonomi Warga

Meski begitu, pada 2025, target energi baru dan terbarukan Indonesia sedikitnya 23 persen dalam bauran energi.

“Penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan sebesar 376 MW dari target 854 MW,” ujar Dadan.

Sementara itu, pantauan lapangan memperlihatkan bahwa pada wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (persero), warganya mengandalkan pasokan listrik dari tenaga surya atau bayu.

Listrik di berbagai daerah

Di Pulau Papagarang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, terdapat sekitar 1.500 penduduk desa yang bergantung pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 380 kilowatt peak (kWp).

”Saat musim hujan ketika matahari tidak bersinar penuh dilakukan pemadaman bergilir karena daya listrik yang disimpan dalam baterai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik semua warga,” kata Basir, Kepala Desa Papagarang.

Bin Boy dan Ihram adalah operator PLTS yang rutin meninjau listrik warga di sepanjang Dusun Tanjung Keramat.

Operator bisa menjadi lebih sibuk saat musim angin barat atau masuk musim hujan. Cuaca mendung membuat pasokan listrik ke warga sepenuhnya bergantung pada cadangan listrik pada baterai.

Kondisi itu membuat Boy dan Ihram harus melakukan pembatasan. Caranya dengan mengatur jadwal pemadaman aliran listrik ke warga.

Di Sulawesi, telah dibangun dua pembangkit listrik tenaga bayu (PTLB) yang total daya penuhnya mencapai 147 MW. Walau demikian, kontrak penjualan tenaga listrik dari dua pembangkit itu kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tidak penuh. Di Sidrap, misalnya, kontraknya sebesar 70 MW dan di Jeneponto sebanyak 60 MW.

Salah satunya, PLTB Sidrap, diresmikan Presiden Joko Widodo pada Juli 2018. Dengan kapasitas 75 megawatt, PLTB Sidrap menjadi pembangkit bertenaga bayu terbesar di Indonesia.

Baca Juga: PLTU Batu Bara Bakal Pensiun Dini, Pemerintah Tegaskan Semua Bebasis EBT

PLTB kerap menghadapi musim angin kencang dan saat angin rendah. Biasanya, musim angin kencang terjadi pada bulan Mei sampai Oktober, dan puncaknya adalah Juli hingga September.

Saat kecepatan angin rendah di musim peralihan, putaran dan energi yang dihasilkan tak sama saat puncak musim angin. Para pengelola biasa memanfaatkan saat ini untuk merawat turbin.

”Pergantian musim adalah kondisi terendah angin. Jika kecepatan angin belum sampai 3 meter per detik, turbin belum bisa berputar. Di sini rata-rata kecepatan angin 10-12 meter per detik. Kalau lagi bagus-bagusnya, bisa 12-20 meter per detik,” kata Manajer Operasi PLTB Sidrap Pribadhi Satriawan.

Di luar potensi angin, Sulawesi juga punya potensi air yang cukup besar. Saat ini yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit di antaranya PLTA Sulewana di Poso, Sulawesi Tengah, yang dibangun oleh PT Poso Energi.

Sekitar 315 MW sudah masuk dalam sistem Sulbagsel dan dalam beberapa bulan ke depan, pembangunan tahap ketiga akan rampung dengan kapasitas lebih dari 200 MW. Artinya, PLTA Sulewana akan menyalurkan listrik sebanyak 515 MW ke PLN.

Senior Manager Operasi Sistem PLN UIKL Sulawesi Anton Sugiarto mengatakan, potensi sumber energi terbarukan di Sulawesi, terutama Sulbagsel, memang cukup besar. Dua jenis yang paling berpotensi dikembangkan adalah bayu dan air. Potensi hidro bahkan mencapai 5.400 MW dan yang dimanfaatkan baru sekitar 700 MW.

”Khusus untuk Sulawesi, energi terbarukan ini ada yang berasal dari hidro, ada yang dari panas bumi (geotermal), kemudian bayu dan surya. Saat ini total bauran energinya hampir 30 persen atau setara 860 MW. Artinya, ini sudah melampaui target bauran nasional yang 23 persen untuk tahun 2025,” tutup Anton.

Program Jelajah Energi Nusantara dapat dinikmati setiap Senin di Harian Kompas, Kompas.id, dan media sosial Harian Kompas pada selama bulan Oktober hingga November 2021. Klik di sini untuk membacanya ya!

(ahr)




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x