Kompas TV saintek sains

Lebih Parah dari Merokok, Polusi Udara Pangkas 2,5 Tahun Harapan Hidup Orang Indonesia

Kompas.tv - 3 Agustus 2023, 11:13 WIB
lebih-parah-dari-merokok-polusi-udara-pangkas-2-5-tahun-harapan-hidup-orang-indonesia
Polusi udara di Jakarta. (Sumber: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Penulis : Wella Andany | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Riset Air Quality Life Index (AQLI) pada tahun 2021 menunjukkan rata-rata orang Indonesia berpotensi kehilangan 2,5 tahun harapan hidup akibat polusi udara. Empat dari lima orang Indonesia terpapar konsentrasi polusi yang melebihi batas aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Di kota-kota besar di Indonesia, harapan hidup masyarakat bahkan bisa terpangkas kian parah. Jakarta, misalnya, secara rata-rata masyarakat dapat kehilangan harapan hidup 5,5 tahun jika tingkat polusi tahun 2019 tak kunjung membaik.

Data satelit menunjukkan, pencemaran udara terutama terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di wilayah metropolitan Jakarta, dan sebagian di Sumatera. Namun, penduduk Kalimantan dan Sulawesi juga ikut menanggung beban polusi udara dalam beberapa tahun terakhir.

AQLI menyatakan, hal tersebut dikarenakan kualitas udara di Indonesia tak memenuhi pedoman WHO, yakni kriteria konsentrasi (Particulate Matter/PM2,5). Polusi udara atau polusi partikel menduduki posisi pertama pemicu pengurangan harapan hidup di Indonesia, disusul merokok di posisi kedua yang memperpendek hingga 1,9 tahun.

Baca Juga: Mudahnya Anak-anak Mendapatkan Rokok Secara Eceran| BERKAS KOMPAS

Polusi partikel utamanya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Diestimasi bahan bakar fosil menyumbang 60 persen PM2,5 di perkotaan. Sementara sisanya berasal dari sumber alam dan aktivitas manusia lainnya.

Lucky Lontoh, selaku Country Coordinator International Institute for Sustainable Development (IISD),  menyatakan temuan pihaknya sejalan dengan riset AQLI. Menurutnya, masyarakat rentan terpapar penyakit tidak menular akibat pembakaran batu bara, yang mana lebih dari 60 persen listrik di Indonesia dihasilkan di Pembangkit Listrik Batu Bara (PLTU).

Lewat laporan tahun 2018, IISD menyatakan batu bara terbukti sangat berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Pembakaran batu bara untuk menghasilkan listrik atau panas menyebabkan PM2,5 dan berbagai unsur beracun yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, pernapasan, bahkan hingga kanker.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, Indonesia menjadi negara dengan kematian tertinggi terkait batu bara.

Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Memburuk, Wamen LHK: Beralih ke Kendaraan Listrik

Mengutip data WHO, polusi udara dari batu bara dianggap sebagai penyebab langsung dari beberapa penyakit tidak menular yang pada tahun 2015 telah menyebabkan 1,3 juta orang meninggal di Indonesia.

Tak hanya merugi dari sisi kesehatan, Lucky mengatakan masyarakat juga berpotensi menerima dampak sosial, dari stunting hingga berkurangnya waktu yang dihabiskan bersama di ruang terbuka.

“Orang dengan gangguan pernapasan kronis membutuhkan istirahat setidaknya dua minggu sampai sebulan per tahun. Jadi di tahap lebih parah orang akan kehilangan lebih banyak hari-hari produktifnya. Jadi hasil kesimpulan kami yang menyatakan orang akan kehilangan 2,5 tahun, itu dapat diterima,” jelas Lucky kepada KompasTV, Selasa (1/8/2023).

IISD menilai, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah untuk mengurangi polusi udara akibat kabut asap serta meningkatkan transportasi massa. Namun ironisnya, pemerintah masih terus mendukung batu bara sebagai sumber utama pembangkit tenaga listrik.

Realisasi subsidi energi tahun 2019, lanjut IISD, mencapai Rp136 triliun, lebih besar dari anggaran belanja kesehatan APBN yakni Rp123 triliun.

Sasaran utama subsidi batu bara, sebagaimana riset IISD, berupa pengurangan harga listrik dengan biaya rata-rata pembangkitan listrik di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 75 Dollar AS  per MWh.

Namun, negara lain seperti India menunjukkan biaya pembangkitan energi terbarukan bisa jauh lebih rendah dibandingkan batu bara. Proyek-proyek tenaga surya di India berhasil menjual listrik di harga 40 Dollar AS  per MWh. Bahkan di Meksiko, harga listrik berhasil diturunkan ke 21 Dollar AS per MWh.

IISD menilai produksi listrik dari sumber terbarukan bisa jauh lebih murah dibandingkan listrik batu bara.

“Pemerintah Indonesia berencana untuk mencapai 23 persen produksi listrik dari sumber terbarukan pada tahun 2025. Namun, sejak 2007, mayoritas peningkatan produksi listrik berasal dari batu bara, sementara porsi produksi listrik terbarukan masih tetap di kisaran 12 persen dari total produksi. Kecuali terdapat perubahan di tingkat kebijakan utama, sulit sekali mencapai target 23 persen,” beber IISD.

Transisi dari tenaga listrik batubara ke energi terbarukan akan berdampak sangat positif dalam mengurangi polusi udara, dan pada gilirannya, pada kesehatan masyarakat Indonesia.

“Sebenarnya pemerintah enggak rugi dengan mengurangi subsidi energi karena di sisi lain pemerintah akan mempunyai kemampuan lebih kuat untuk memberikan layanan kesehatan. Kalau di survei masyarakat ada dua hal yang selalu menjadi keinginan masyarakat tertinggi, kesehatan dan pekerjaan,” kata Lucky.

IISD pun menyarankan beberapa solusi.

Pertama, pemerintah berhenti menyubsidi batu bara. Sebab, dengan terus menyubsidi batu bara dan bahan bakar fosil lainnya, berarti pemerintah menyubsidi polusi udara yang berbahaya serta penyakit pernapasan dan penyakit lainnya yang menimpa masyarakat Indonesia.

Kedua, pemerintah harus berinvestasi lebih di bidang kesehatan. Data dan penelitian yang memadai dibutuhkan untuk membantu memahami biaya kesehatan dari batu bara di Indonesia.

Pemerintah harus memperkuat upaya mengukur dan memonitor stasiun-stasiun yang ada yang menunjukkan tingkat polusi udara di kota-kota utama dan daerah yang berdekatan dengan PLT batu bara untuk menelusuri standar kualitas udara.

Ketiga, Indonesia harus beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target memenuhi 23 persen kebutuhan energi dari energi baru dan terbarukan, namun kapasitas batu bara diprediksi masih akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan.

Momok Pembiayaan

Untuk negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki kemampuan fiskal terbatas, pembiayaan peralihan energi yang lebih bersih menjadi momok.

Kebutuhan investasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk mencapai target nol emisi karbon atau net zero emission pada tahun 2060 membutuhkan biaya sekitar 1.108 miliar Dollar AS. Sampai saat ini, potensi EBT yang baru dimanfaatkan oleh Indonesia masih mencapai 2 persen.

"Bicara soal investasi yang dibutuhkan berkisar 1.108 miliar Dollar AS atau rata-rata per tahun 28,5 miliar Dollar AS. Realisasi per tahun 2022, baru di angka 1,55 miliar Dollar AS yang artinya masih jauh dari investasi yang dibutuhkan," kata Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Trois Dilisusendi, dikutip dari Kompas.id Rabu (17/5/2023).

Baca Juga: Polusi Udara Berdampak pada Perkembangan Janin, Orang Tua Harus Waspadai Hal Ini

Diketahui, Indonesia telah menargetkan nol emisi karbon pada tahun 2060 sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditingkatkan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,2 persen pada tahun 2030. Untuk mencapai ambisi tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan mengenai EBT sebagai upaya merealisasikan nol emisi karbon 2060.


 

Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, EBT ditargetkan dapat mencapai 23 persen dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2025. Namun, pada tahun 2022, capaian EBT baru mencapai 12,3 persen yang seharusnya ditargetkan 15,7 persen.

“Potensi yang dimiliki Indonesia sangatlah besar besar. Namun, penggunaan EBT masih sangat kecil, yakni sekitar 2 persen atau sekitar 12.602 megawatt. Sementara kita memiliki potensi sebesar 3.689 gigawatt. Jadi, ruang untuk EBT terus berkembang ini masih sangat besar," lanjut Trois.

Lucky mengatakan, masalah pembiayaan transisi energi negara berkembang harus dilihat oleh pemimpin dunia sebagai masalah bersama. Tak sekadar target, implementasi harus segera direalisasikan guna menciptakan masyarakat yang lebih sehat. Ia berharap lewat COP28 tahun ini para pemimpin dunia dapat mencapai kesepakatan yang dapat mempercepat perluasan transisi energi.

“Ini cuma bisa diselesaikan dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk jangan main-main lagi sama target,” pungkasnya.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x