Kompas TV regional berita daerah

Ancaman Banjir Rob: Tahun 2030, 80 Persen Kota Pekalongan akan Berada di Bawah Laut

Kompas.tv - 31 Desember 2021, 14:24 WIB
ancaman-banjir-rob-tahun-2030-80-persen-kota-pekalongan-akan-berada-di-bawah-laut
Banjir di Kota Pekalongan pada Februari 2020. Kota Pekalongan menjadi salah satu dari tiga daerah di Pantura yang bisa tenggelam akibat penurunan muka tanah. (Sumber: Kompas TV/Ant/Harviyan Perdana)
Penulis : Ahmad Zuhad | Editor : Edy A. Putra

Ia menyebut banjir rob mulai kerap menyambangi Pekalongan sejak pertengahan dekade awal 2000, ketika terjadi penurunan tanah di wilayah pesisir kota itu.

“Kalau di tahun 2000-an, relatif wilayah Pantura dan Pekalongan masih di atas laut. Pada 2005, mulai ada yang di bawah laut sampai sekarang. Karena tanah terus turun dan turun, (pesisir Pekalongan) jadi di bawah laut dan banjir rob,” ujarnya.

Namun, banjir rob ini tidak begitu saja terjadi akibat faktor alamiah. Pemanasan global dan krisis iklim memang menyebabkan kenaikan permukaan air laut, tetapi hal itu bukanlah faktor utama.

“Kalau air laut naik 6 mm/tahun atau kecil, tidak sampai 1 cm. Puluhan kali lipat lebih cepat penurunan tanah yang mencapai 15-20 cm/tahun dibanding kenaikan air laut,” beber Heri.

Perilaku manusialah yang menjadi penyebab terbesar penurunan tanah dan banjir rob di Kota Pekalongan.

Menurut Heri, ada beberapa penyebab penurunan tanah biasanya terjadi. Tanah bisa turun secara alami akibat kompaksi alamiah atau pergerakan tektonik.

Pembangunan gedung-gedung bertingkat juga dapat membebani tanah hingga mengalami penurunan. Selain itu, eksploitasi air tanah menjadi faktor terakhir yang mungkin membuat tanah turun.

Heri mengaku timnya telah menggali penyebab terbesar fenomena penurunan tanah di Kota Pekalongan itu. Ia memiliki kesimpulan sementara bahwa eksploitasi air tanah adalah penyebab utama penurunan tanah di Kota Batik itu.

“Kalau bangunan tinggi yang membebani tanah, tidak ada di Pekalongan. Eksploitasi air tanah kalau dari pemodelan kita, efeknya besar atau dominan bisa sampai 80 persen,” kata Heri.

Akibat eksploitasi lewat sumur-sumur bor itu, permukaan air di dalam tanah Kota Pekalongan juga mengalami penurunan signifikan berdasarkan pantauan tim ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Pemantauan dilakukan di Kelurahan Kergon, Pekalongan Barat di mana permukaan air tanah turun dari -49,16 meter pada Februari 2021 menjadi -50,62 pada November 2021.

Itu artinya, permukaan air tanah turun hingga 1,36 meter dalam waktu 9 bulan.

Kerugian dan Biaya Akibat Rob

Heri Andreas menyebut, kerugian ekonomi akibat banjir rob di Pekalongan saja akan mencapai puluhan triliun rupiah.

“Itu hitungan ekonomi dampak langsung banjir rob, seperti luas wilayah yang tergenang, berapa rumah yang terdampak, lalu konsekuensi untuk meninggikan jalan, membuat tanggul,” kata Heri.

Zurich Flood Resilience Alliance menyebut, banjir rob dapat berdampak pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.

Sementara, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pekalongan di sektor itu adalah Rp353,19 miliar pada 2020.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekalongan dari Pemerintah Kota (Pemkot) menyatakan bahwa banjir rob menjadi salah satu penyebab penyerapan tenaga kerja di sektor industri tidak optimal. 

Perlu diketahui, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Pekalongan pada 2020 ada di angka 7,02 persen atau meningkat 1,25 poin.

Tren Tingkat Pengangguran Terbuka Kota Pekalongan. (Sumber: RPJMD Kota Pekalongan 2021-2026)

“Beberapa musibah seperti kebakaran Pasar Banjarsari dan bencana banjir rob yang menggenangi wilayah industri di Kota Pekalongan juga mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor industri,” tulis Pemkot Pekalongan.

Heri sendiri memperkirakan, bila banjir rob benar-benar merendam permanen berbagai wilayah Pekalongan, Pemkot membutuhkan anggaran relokasi hingga Rp16 triliun. 

Kerugian ekonomi ini belum menghitung anggaran penanganan banjir rob yang sudah dan akan digunakan.

“Pekalongan saja beberapa tahun lalu anggaran untuk tanggul itu di angka Rp500 miliar. Kemudian, tahun ini dan tahun depan ada anggaran Rp1,2 triliun untuk pembuatan tanggul, itu belum menghitung peninggian jalan, rumah-rumah,” kata Heri.

Anggaran pembuatan tanggul itu berasal dari APBD Jawa Tengah lewat Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dan APBN.

Muhammad Adek Rizaldi, Kepala BBWS Pemali Juana mengatakan, pihaknya akan memfasilitasi pembangunan tanggul di Sungai Lodji, Sungai Banger, dan Sungai Gabus Pekalongan.

BBWS Pemali Juana menyiapkan anggaran Rp1,24 triliun untuk pembangunan selama 2021-2023.

Sementara, Pemerintah Pusat sendiri lewat Perpres 79 tahun 2019 memberikan dana Rp1,55 triliun untuk pengendalian banjir di Sungai Lodji dan Sungai Sengkarang.

Tanggul-tanggul di sungai itu adalah infrastruktur pelengkap bagi tanggul di bibir pantai Kota Pekalongan yang telah dibangun sejak 2015, tetapi tidak kuat menahan gelombang laut.

Banyaknya anggaran untuk penanggulangan banjir ini belum menghitung alokasi dari Pemerintah Kota Pekalongan sendiri.

Pada 2021 saja, Pemkot Pekalongan menyiapkan anggaran Rp26,2 miliar untuk menangani banjir.

Anggaran itu disiapkan untuk pembangunan kolam penampung air hujan (kolam retensi), penambahan stasiun pompa air, perbaikan tanggul dan rehabilitasi drainase.

Akan tetapi, seluruh biaya dan kerugian ekonomi itu akan terus bertambah, bila akar masalah penurunan tanah di Pekalongan tak juga diselesaikan.

Baca Juga: Cuaca Malam Tahun Baru, BMKG: 17 Wilayah di Indonesia akan Diguyur Hujan




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x