Kompas TV pendidikan edukasi

Korupsi di Sektor Pendidikan Tak Pernah Berhenti, si Miskin Selalu Jadi Korban

Kompas.tv - 27 Januari 2023, 16:07 WIB
korupsi-di-sektor-pendidikan-tak-pernah-berhenti-si-miskin-selalu-jadi-korban
Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani mengucapkan permohonan maaf kepada masyarakat pendidikan Indonesia setelah ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penerimaan mahasiswa baru Unila tahun 2022, Minggu (21/8/2022). (Sumber: Tangkapan layar Youtube KOMPAS TV)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV – Anak dari keluarga miskin lebih berisiko tidak terdidik akibat akses Pendidikan di Indonesia belum merata.

Menurut Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode M Syarif, salah satu penyebab pendidikan kurang merata adalah pembiaran berkelanjutan terhadap tata kelola yang tidak baik.

“Korupsi sektor pendidikan mengakibatkan akses masyarakat miskin menjadi sangat minim,” ujarnya dalam dialog pendidikan ‘Menyingkap Perjalanan Pendidikan Anak-Anak Miskin di Indonesia’ yang digelar Asa Dewantara, Kamis (26/1/2023), dikutip dari Kompas.id.

Laode mengungkapkan, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan tidak terlalu buruk. Nilainya bahkan terus meningkat dalam kurun waktu 2016-2022. Pada 2016 sebesar Rp 370,8 triliun dan 2022 lebih dari 500 triliun.

“Itu sangat besar. Bahkan, konstitusi kita mewajibkan (anggaran pendidikan) minimal 20 persen (dari APBN),” katanya.

Sayangnya, penggunaan anggaran sering kali tidak dikelola bertanggung jawab. Korupsi pendidikan masih terus terjadi dan melibatkan berbagai pihak seperti kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, kepala dinas, rektor, serta pihak sekolah.


 

Laode menyebutkan, setidaknya tujuh kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi sektor pendidikan pada 2016-2021.

Beberapa kasus di antaranya korupsi dana pendidikan luar sekolah di Nusa Tenggara Timur pada 2007, korupsi pengadaan paket bantuan siswa kurang mampu di Kabupaten Lampung timur pada 2012, suap ijon proyek-proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2016, serta pemotongan dana alokasi khusus di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada 2018.

Penggelembungan harga

Berbagai modus yang terjadi, seperti penggelembungan harga atau mark up pengadaan barang dan jasa, pemotongan anggaran, suap, proyek fiktif, dan pungutan liar atau pungli.

Modus operandi terbanyak berupa penggelembungan harga pengadaan barang dan jasa serta proyek fiktif masing-masing sebesar 14,2 persen. Selain itu berbentuk pungli (13,3 persen), pemotongan anggaran (10,8 persen), penyalahgunaan wewenang (5,8 persen), dan praktik lainnya.

Laode mengatakan, jumlah kasus korupsi sektor pendidikan lebih banyak dari yang diusut KPK. Sejumlah kasus dengan nilai korupsi di bawah Rp 1 miliar, misalnya, ditangani oleh lembaga lain karena bukan wewenang KPK.

Rawan terjadi di perguruan tinggi

Korupsi juga rawan terjadi di perguruan tinggi. Bentuknya beragam, mulai dari pengadaan barang dan jasa, insentif dosen atau peneliti, uang penelitian, dan jual beli nilai kelulusan.

“Suap penerimaan mahasiswa baru banyak terjadi. Kami mendapat banyak laporan, khususnya untuk Fakultas Kedokteran,” ucapnya.

Bentuk ketimpangan akses pendidikan

Direktur Eksekutif Asa Dewantara Abdul Malik Gismar memaparkan sejumlah bentuk ketimpangan akses pendidikan di berbagai jenjang.

Sebesar 14,94 persen atau 12.560 desa di Indonesia tidak memiliki akses ke semua jenis PAUD. Hanya 11 persen desa yang dapat mengakses PAUD dalam radius kurang dari 6 kilometer.

“Rata-rata jarak ke PAUD di perdesaan mencapai 18,77 km. Sementara di perkotaan hanya 3,15 km,” katanya.

Ketimpangan pun terjadi dalam mengakses pendidikan dasar dan menengah. Jarak rata-rata mengakses SD di Jawa, misalnya, hanya 1,23 km. Sementara di Maluku dan Papua mencapai 6,37 km.

“Sebesar 31,32 persen (sekitar 4,17 juta anak) dari total penduduk berusia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA. Sebanyak 54,19 persen di antaranya tinggal di desa,” jelasnya.

Menurut Malik, beban menyekolahkan anak masih cukup besar. Mengingat, pengeluaran untuk pendidikan bukan sekadar uang sekolah, tetapi biaya lain seperti transportasi.

Dengan demikian, korupsi di sektor Pendidikan memperburuk ketimpangan akses Pendidikan. Ketimpangan akses itu terjadi mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.

 




Sumber : Kompas.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x