Kompas TV nasional hukum

Ketua KPU Tanyakan Makna Hasil Pemilu, Begini Jawaban Saksi Ahli dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Kompas.tv - 2 April 2024, 11:11 WIB
ketua-kpu-tanyakan-makna-hasil-pemilu-begini-jawaban-saksi-ahli-dalam-sidang-sengketa-pilpres-di-mk
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari saat memberikan keterangan pers usai menghadiri sidang perdana sengketan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/3/2024). (Sumber: Tangkap Layar Kompas TV.)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari selaku termohon dalam gugatan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, menanyakan makna hasil pemilu menurut Pasal 6a UUD 1945.

Sidang PHPU ini dimohonkan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 3 pada Pilpres 2024, Ganjar-Mahfud.

Pertanyaan tersebut diajukan pada saksi ahli Aan Eko Widiarto dalam sidang lanjutan perkara tersebut yang dilaksanakan pada Selasa (2/4/2024).

“Apa makna hasil pemilu menurut ahli bila itu dikaitkan dengan Pasal 6a UUD 1945, kemudian Pasal 41, Pasal 404, Pasal 416, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 421, Pasal 422, dan Pasal 423 UU Pemilu, pertanyaannya apa makna hasil pemilu?” tanya Hasyim.

Baca Juga: MK Panggil 4 Menteri Jokowi di Sidang Sengketa Pilpres pada 5 April Nanti

Menjawab pertanyaan tersebut, Aan mengatakan mahkamah dapat langsung menguji suatu perkara berdasarkan undang-undang dasar.

“Termohon tentu perlu riset soal semua bunyi dari ketentuan, tapi berpijak pada pandangan saya bahwa yang pertama, mahkamah itu beyond undang-undang, mahkamah bisa langsung menguji, memeriksa berdasarkan undang-undang dasar,” bebernya.

Menurutnya, MK tidak memerlukan banyak undang-undang sebagai pijakan, kecuali undang-undang dasar.

“Tidak terlalu banyak undang-undang yang harus dipijak oleh mahkamah kecuali sesuai sumpahnya adalah undang-undang dasar.”

“Kalau kita lihat Pasal 6a, undang-undang dasar sudah jelas bahwasanya presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dan seterusnya, ini memang menyebut angka,” lanjut Aan.

Menurutnya tidak mungkin tidak ada penyebutan angka karena pemilu merupakan kontestasi atau perlombaan.

“Tidak mungkin tidak menyebut angka karena adalah suatu pemilihan dan vote, satu suara dihargai oleh negara.”

Baca Juga: Kuasa Hukum Ganjar-Mahfud Singgung Pernyataan Yusril soal Putusan MK 90 Cacat Hukum

“Tapi persoalannya adalah mahkamah harus memastikan bahwa suara yang diberikan ini harus sesuai dengan Pasal 22e UUD,” tuturnya.

Suara yang diberikan, menurut dia, harus sesuai dengan asas-asas pemilihan umum, dan membaca Pasal 6a UUD 1945 tidak bisa terlepas dari Pasal 22e UUD 1945.

“Harus sesuai dengan asas-asas pemilu, sehingga membaca 6a tidak terlepas dari 22e.”

“Boleh angka sebagai suatu perlombaan, suatu kontestasi untuk meraih sebanyak-banyaknya, tapi angka sebanyak-banyaknya itu harus diperoleh dari prinsip-prinsip yang mengalir dari Pasal 22e ayat 1 UUD 1945,” tegasnya.


 

 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x