Kompas TV nasional hukum

Dalam Sidang di MK Yusril Pertanyakan Norma Hukum yang Harus Diikuti Jika Ada yang Bertentangan

Kompas.tv - 1 April 2024, 11:20 WIB
dalam-sidang-di-mk-yusril-pertanyakan-norma-hukum-yang-harus-diikuti-jika-ada-yang-bertentangan
Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pihak terkait dalam sidang perselisihan hasil pemiihan umum (PHPU) di mahkamah Konstitusi (MK) , Senin (1/4/2024). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV – Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pihak terkait dalam sidang perselisihan hasil pemiihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK),  mempertanyakan norma hukum yang harus diikuti jika ada yang bertentangan.

Pertanyaan Yusril tersebut disampaikan seusai Bambang Eka Cahya selaku saksi ahli menyatakan pencalonan Gibran melanggar hukum dan konstitusi, dalam sidang di MK, Senin (1/4/2024).

Dalam sidang lanjutan tersebut, Yusril menanyakan apakah saksi ahli tahu dan dapat membedakan antara sengketa proses dan sengeta hasil dalam pemilu, serta apakah proses pencalonan termasuk sengketa proses atau sengketa hasil.

Kedua, Yusril menanyakan mengenai apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara negara jika ada perbedaan antara norma hukum yang ada.

Baca Juga: Sidang Sengketa Pilpres, Saksi Tim AMIN: Putusan Sidang DKPP Terlalu Lama!

“Jika penyelenggara negara tahu bahwa ada norma hukum yang lebih tinggi yang mengatur sesuatu tapi ada juga norma hukum yang lebih rendah dan peraturan yang lebih rendah itu bertentangan dengan yang lebih tinggi, yang lebih rendah itu secara formal masih berlaku, apa yang harus dia lakukan?” tanya Yusril.

Menjawab hal itu, Bambang mengatakan, jika ada norma hukum yang bertentangan, seharusnya norma yang lebih rendah menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi.

“Persoalannya adalah kerangka hukum pemilu itu tidak cuma undang-undang, tetapi juga peraturan KPU,” lanjutnya.

“Dipertegas dalam Pasal 75 UU Pemilu bahwa untuk melaksanakan pemilihan umum, KPU harus membentuk peraturan KPU dan Keputusan KPU.”

Peraturan itu, kata dia,  sebagaimana dimaksud adalah pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

“Dalam catatan ini, maka seharusnya KPU segera mengubah PKPU 19 tahun 2023 dan segera meminta kepada DPR dan pemerintah untuk mengadakan rapat denngar pendapat umum.”

“Karena RDP umum itu telah diamanatkan UU nomor 7 tahun 2017 pasal 75 ayat 4. Jadi ada proses yang harus dilewati melalui hal tersebut,” tambahnya.

Bambang berpendapat putusan KPU cacat secara hukum karena tidak mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90.

“Mengingat pada peraturan KPU nomor 19 dan kemudian telah diubah menjadi nomor 23, ini menjadi pertanyaan karena ketika putusan ini dibuatPKPU nomor 23 itu belum ada, belum disahkan.”

Baca Juga: Sidang Dimulai, Tim AMIN Hadirkan Ahli Guna Buktikan Dugaan Sengketa Pilpres 2024

Sementara mengenai perbedaan antara sengketa proses dan sengketa hasil pemilu, ia menyebut bahwa sengketa proses merupakan kewenangan Bawaslu untuk menangani, sedangkan sengketa hasil merupakan kewenangan MK.

“Berkaitan dengan sengkta proses dan sengketa hasil, sengketa proses adalah sengketa yang diajukan dalam proses pemilihan umum, dan ini kewenangan dari Badan Pengawas Pemilu.”


 

“Sengketa hasil adalah sengketa terhadap hasil pemilihan umum yang menjdi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

Sebelumnya, dalam pemaparannya, Bambang menyebut pencalonan Gibran melanggar hukum dan konstitusi karena dalam proses penetapan pencalonan, KPU menggunakan Peraturan KPU nomor 19 tahun 2023, bukan PKPU nomor 23 tahun 2023 yang sesuai dengan putusan MK nomor 90 tentang batas usia calon.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x