Kompas TV nasional peristiwa

Kenapa HUT KORPRI Diperingati Setiap Tanggal 29 November? Begini Sejarahnya

Kompas.tv - 29 November 2023, 05:05 WIB
kenapa-hut-korpri-diperingati-setiap-tanggal-29-november-begini-sejarahnya
Logo KORPRI. (Sumber: korpri.go.id)
Penulis : Rizky L Pratama | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Seperti diketahui HUT KORPRI setiap tahunnya diperingati pada tanggal 29 November. Tahun ini HUT KORPRI ke-52 diperingati pada hari ini, Rabu (29/11/2023).

Peringatan HUT ke-52 KORPRI 2023 bersamaan dengan berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) pada 29 November 1971.

KORPRI didirikan sebagai organisasi non-partai yang netral dan tidak memihak pada partai politik tertentu. 

Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 menetapkan berdirinya KORPRI sebagai wadah untuk menghimpun semua Pegawai Republik Indonesia. 

Tanggal 29 November ditetapkan sebagai HUT KORPRI dan dirayakan setiap tahunnya melalui Keputusan Presiden tersebut.

Selengkapnya, berikut sejarah 29 November ditetapkan sebagai HUT KORPRI.

Sejarah KORPRI

Dilansir dari laman BKPPD Pasuruan, berdirinya KORPRI tidak lepas dari sejarah panjang pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.

Baca Juga: Kenapa Hari Guru Nasional Diperingati Setiap Tanggal 25 November? Begini Sejarahnya

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda berasal dari kaum bumi putera. 

Kedudukan pegawai ini terletak pada tingkat pegawai kasar atau kelas bawah, karena perekrutannya didasarkan pada kebutuhan penjajahan. 

Saat Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang, seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda secara otomatis dipekerjakan oleh pemerintah Jepang. 

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Pada saat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:

  1. Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI;
  2. Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator);
  3. Pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).

Seluruh pegawai RI, pegawai RI non Kolaborator, dan pegawai pemerintah Belanda dijadikan Pegawai RI Serikat, setelah pengakuan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949.

Baca Juga: Taspen dan Korpri Berkolaborasi Untuk Tingkatkan Kesejahteraan ASN

Era RIS atau yang lebih dikenal dengan era pemerintahan parlementer diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet. Sistem ketatanegaraan menganut sistem multi-partai.

Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri.

Sehingga departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu. 

Dominasi partai dalam pemerintahan terbukti mengganggu pelayanan publik. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang seharusnya berfungsi melayani masyarakat (publik) dan negara malah menjadi alat politik partai.

Prinsip penilaian prestasi atau karier pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan. Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental dengan partai darimana ia berasal.

Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dengan Dekrit Presiden tersebut, sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.

Namun, dalam praktek kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangatlah besar.

Baca Juga: Ingatkan Peran Korpri, Jokowi: Partai Boleh Banyak, Tapi yang Menjalankan Pemerintahan Tetap Korpri

Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S. Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis Indonesia. 

Pada awal Orde Baru, terjadi penataan ulang pegawai negeri dengan diterbitkannya Keputusan Presiden RI Nomor 82 Tahun 1971 mengenai KORPRI. 

Sesuai dengan Keputusan Presiden tersebut pada 29 November 1971, KORPRI ditetapkan sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai Republik Indonesia di luar kedinasan.

Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”. Akan tetapi KORPRI kembali menjadi alat politik.

Memasuki era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang peran pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR.

Pada akhirnya dihasilkannya konsep dan disepakati KORPRI harus netral secara politik.

Setelah Reformasi, KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik.

Para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad KORPRI untuk senantiasa netral dengan berorientasi pada tugas, pelayanan, dan senantiasa berpegang teguh terhadap profesionalisme;

Serta berpegang teguh pada Panca Prasetya KORPRI PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol.

Maka dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota KORPRI tidak terlibat dalam partai politik apapun.

Oleh karena itu KORPRI hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.

Baca Juga: Isi Pesan Presiden Jokowi untuk Korpri di Tahun Politik


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x