JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menjadi salah satu Hakim MK yang tak setuju atau berbeda pendapat atau dissenting opinion dengan keputusan MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta, Almas Tsaqibbirru Re A.
MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Saldi Isra memiliki pandangan berbeda dan menolak putusan MK tersebut. Menurutnya, langkah MK mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A sangat aneh.
Baca Juga: Hakim Konstitusi Ungkap Alasan MK Tolak Gugatan Usia Capres-Cawapres 35 Tahun
"Saya Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat atau pandangan berbeda atau dissenting opinion sehingga sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 29/2003, 51/2023 dan putusan Mahkamah Konstitusi 55/2003 selanjutnya ditulis putusan Mahkamah Konstitusi 29, 51, 55 tahun 2003, saya menolak permohonan a quo dan seharusnya MK menolak permohonan a quo," kata Saldi Isra di Gedung MK, Senin (16/10/2023).
Saldi Isra menyebut, sejak karirnya menjadi Hakim MK, baru kali ini MK mengubah pendirian dalam waktu singkat.
"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini."
"Sebab sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017 atau sekitar 6 setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar, mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ucap Saldi Isra.
Pasalnya, menurut Saldi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 29, 51, 55 tahun 2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia capres-cawapres adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
Saldi menilai tiga putusan MK sebelumnya yang menolak gugatan usia capres-cawapres menutup ruang tindakan lain selain wewenang pembentuk undang-undang. Namun, Saldi heran mengapa MK mengubah putusannya pada gugatan ke-4.
Baca Juga: [FULL] KPU Beberkan Poin-Poin Penting Persiapan Pendaftaran Bacalon Presiden & Wakil Presiden 2024!
"Apakah Mahkamah pernah mengubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini bahwa perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar menyampingkan keputusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat dan mendapatkan fakta-fakta yang berubah di tengah-tengah masyarakat."
"Pertanyaannya, fakta penting apa yang berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya?" tanya Saldi.
Sebagai informasi, sebanyak empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tak setuju atau berbeda pendapat atau dissenting opinion dengan keputusan MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu.
Empat Hakim Konstitusi tersebut yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.