Kompas TV nasional humaniora

Prabowo Ingin Pindahkan Makam Diponegoro ke Yogyakarta, Begini Akhir Hayat Sang Pangeran di Makassar

Kompas.tv - 14 Juli 2023, 13:48 WIB
prabowo-ingin-pindahkan-makam-diponegoro-ke-yogyakarta-begini-akhir-hayat-sang-pangeran-di-makassar
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (dua kiri) memberi hormat di makam Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (20/6/2018)
(Sumber:TribunTimur )
Penulis : Iman Firdaus | Editor : Desy Afrianti
 

Sebagai tahanan negara (staatsgevangene), Diponegoro tidak diizinkan untuk menulis surat, namun diperbolehkan menulis untuk kesenangan sendiri, misalnya menulis naskah-naskah Jawa yang dia salin.

Namun, akibat kondisi di pengasingan itu, sang pangeran mulai mempersiapkan kematian dirinya dengan apa yang disebut dalam tradisi mistik Syatariah dengan istilah Plawanganing pati (membuka pintu gerbang kematian). 

Pada akhir 1848, ia meminta pada Gubernur agar diizinkan bertemu dengan dua putranya yang diasingkan ke Ambon, yaitu Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib. Pada saat yang sama, dia juga mencemaskan anak tertuanya, Pangeran Diponegoro II yang berada di pengasingan di Sumenep, Madura.


Namun, pemerintah kolonial Belanda tidak meloloskan keinginan sang pangeran untuk bertemu dengan anak-anaknya. Hal itu karena Belanda masih khawatir pengaruh Diponegoro yang masih kuat.

"Mereka (Belanda, red) barangkali malah ingin agar Diponegoro tidak sampai tahu tentang tragedi yang menimpa keluarganya, termasuk kematian putranya nomor dua termuda, Raden Mas Joned, karena berselisih dan berkelahi dengan perwira Belanda di Yogya pada April 1837."

Di tengah kesedihan dan hari-hari menjelang ajal tersebut, Diponegoro tiba-tiba mendapat surat dari ibunya, Raden Ayu Mangkorowati. Kedatangan surat itu membuat Diponegoro sangat gembira, sebab sudah lama mereka terpisah. 

Bahkan kepada Gubenur Celebes de Perez, ia mengatakan bahwa kerinduan terbesarnya adalah melewatkan hari-hari bersama sang ibu yang sudah renta, 80 tahun. Namun, kerinduan anak dan ibu itu tak terlunasi. 

Sang ibu meninggal pada 7 Oktober 1852, dan tiga tahun kemudian, Diponegoro menyusul, tepatnya pada 8 Januari 1855.

Baca Juga: Bulan Puasa yang Tak Biasa dan Kisah Penangkapan Pangeran Diponegoro

Dalam korespondensi terakhirnya, Diponegoro menuliskan kepada ibunya akan selalu menaiki tangga loteng untuk melihat ke pelabuhan, menanti kapal uap yang rutin bersandar di Teluk Makassar, menanti kedatangan sang ibu. 

Sementara sang ibu menuliskan bahwa kebahagiaan terbesarnya adalah mereka berdua diberi kesehatan dan kewarasan (wilujeng) hingga akhirnya nanti bertemu kembali di akhirat.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x