Kompas TV nasional humaniora

Indonesia Sudah Keluar dari 10 Besar Negara Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca

Kompas.tv - 10 Juni 2023, 07:50 WIB
indonesia-sudah-keluar-dari-10-besar-negara-penyumbang-emisi-gas-rumah-kaca
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers bertema Waspada Potensi Cuaca Ekstrem di Beberapa Wilayah Indonesia Menjelang Libur Natal dan Tahun Baru 2023 pada Selasa (20/12/2022). (Sumber: Kompas TV)
Penulis : Gilang Romadhan | Editor : Hariyanto Kurniawan

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa Indonesia sudah keluar dari daftar 10 besar negara penyumbang gas emisi rumah kaca terbanyak. 

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. 

Kepastian tersebut didapatkan Dwikorita setelah adanya hasil pemantauan dari alat global greenhouse watch yang memonitor gas rumah kaca.

"Ternyata emisi kita di bawah rata-rata global," ujar Dwikorita, Jumat (6/9/2023), dalam diskusi temu bisnis dan forum investigasi dengan tajuk Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di University Club UGM, Yogyakarta, dilansir dari Kompas.com. 

"Sebelumnya kita masuk 10 besar penghasil rumah kaca di dunia dan ini tidak bagus. Dengan adanya global ini, ternyata rata-rata emisi gas rumah kaca di bawah global sehingga keluar dari 10 besar penghasil gas rumah kaca," terangnya.

Baca Juga: BMKG: El Nino Ancam Sektor Pertanian Indonesia, Puncaknya Juli hingga September 2023

Melansir laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer.

Gas-gas rumah kaca itu adalah karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC).

Gas karbon sebagai pencemar utama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan bakar organik lain.

Singkatnya, gas emisi rumah kaca tersbut akan terakumulasi di lapisan atmosfer, lantaran minimnya serapan tumbuhan dan menyebabkan radiasi inframerah matahari dan paparan panasnya tidak bisa terpantul keluar atmosfer.

Ini menyebabkan membuat iklim berbuah drastis dan membuat Bumi semakin panas. Dampak nyatanya berupa bencana kekeringan, banjir, dan sebagainya.

Baca Juga: Penyebab Suhu Panas di Kota-Kota Besar Belakangan Ini: Urban Heat Island, Apa Itu?

Perubahan iklim ini, menurut Dwikorita, punya dampak yang kian nyata sehingga bisa mengganggu kestabilan ekonomi dan politik dunia.

"Tidak hanya kekeringan, kondisi ketersediaan sumber daya air makin rendah baik di negara maju maupun negara berkembang," sambung Dwikorita.

"Lalu adanya ancaman ketahanan pangan global, krisis pangan semakin menguat dan merata. Diprediksi oleh FAO pada tahun 2050 sekitar 500 juta petani yang menghasilkan 80 persen produk pangan global akan kena dampak, kelaparan di mana-mana, nanti tidak ada negara yang bisa saling menolong, karena kekurangan pangan masing-masing," ucap dia.


 

 



Sumber : Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x