Kompas TV nasional peristiwa

Kisah Kesederhanan Mendiang Buya Syafii Maarif, Tidur di Tikar Tipis hingga Jadi Pelayan Toko Kain

Kompas.tv - 27 Mei 2022, 14:31 WIB
kisah-kesederhanan-mendiang-buya-syafii-maarif-tidur-di-tikar-tipis-hingga-jadi-pelayan-toko-kain
Mengenal sisi kesederhanaan Buya Syafii Maarif sang Guru Bangsa yang meninggal hari ini, Jumat (27/5/2022) (Sumber: Kompas.tv/Ant)
Penulis : Vidi Batlolone | Editor : Gading Persada

Namun kelokan besar yang mengubah jalan hidupnya adalah ketika merantau ke Yogyakarta karena diajak M Sanusi Latief, kakak satu suku. 

Saat itu, tahun 1953, usia Buya Syafii Maarif  masih18 tahun. Mereka berangkat bersama dua sepupu lainnya. Buya Maarif kemudian belajar di Madrasah Mua’alaimin Yogyakarta.

Di Yogyakarta empat orang itu tinggal dalam satu kamar. Buya Syafii bercerita dari keempatnya, hanya dia yang tidak memiliki kasur untuk tidur.

Namun hal itu tidak menjadi masalah untuknya karena memang sejak kecil, sudah terbiasa tidur tanpa kasur.

“Bagiku keadaan seperti ini tidak menjadi halangan karena di kampung pun aku tidur tanpa kasur, bahkan tidak jarang aku tidur di sela-sela goni gambir milik ayahku,” kenang Buya Syafi’i.

Syafii juga menceritakan ketika merantau ke Yogyakarta dia membawa koper besi kuno sisa peninggalan jaman Belanda.

“Koper ini juga saksi hidup tentang betapa sederhananya keluarga bibi dan pamanku. Untuk bekal berangkat ke Jawa, bibiku juga merendangkan daging kikiak hasil tembakanku di daerah Ranoh Payu,” ujar Buya Syafi’i.

Baca Juga: Kenang Buya Syafii Maarif, Jokowi: Selamat Jalan Sang Guru Bangsa

Setelah menyelesaikan sekolah di Yoggyakarta, pada usia 21 tahun, Buya Maarif pergi ke Lombok dan bertugas menjadi guru di Pohgading, Pringgabaya, Lombok Timur.

Menjadi pelayan toko

Di tempat itu juga kehidupan sederhana sebagai guru dilakoninya.

“Sebagai guru Muhammadiyah di tempat yang ekonominya serba sederhana, aku mengerti bagaimana pengurus Muhamadiyah mencari infak untuk honorarium guru yang besarnya hanyalah sekadar untuk bertahan hidup, akan tetapi karena berasal dari keluarga desa, aku tidak terkejut. ” tulis Syafii.

Pada usia 23 tahun, Syafii memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Cokroaminoto Surakarta.

Biaya sekolah harus ditanggungnya sendiri, karena tidak ada lagi bantuan dana dari kampungnya setelah ayahnya meninggal.

Untuk membiayai kuliah dan kehidupannya, Syafii melakukan berbagai macam pekerjaan mulai dari mengajar mengaji anak-anak Minang yang ada di Solo, menjadi buruh besi tua, sampai menjadi pelayan toko kain.

‘Bermacam-macam tugasku di toko ini, pelayan, kasir, dan tidak jarang disuruh membeli barang ke Bandung dan Surabaya”

Kehidupan sederhana terus melekat bersama Buya Syafii. Masa-masa bersekolah di Chicago Amerika Serikat pun tidak mengubahnya.

Menjadi dosen hingga memimpin Muhammadiyah pun, dia tetap dikenal sebagai sosok yang bersahaja.  




Sumber : Kompas TV/berbagai sumber


BERITA LAINNYA



Close Ads x