Kompas TV nasional update corona

Dua Tahun Covid: Sengkarut PCR, Gonta-ganti Kebijakan hingga Dugaan Bisnis Pejabat

Kompas.tv - 2 Maret 2022, 09:00 WIB
dua-tahun-covid-sengkarut-pcr-gonta-ganti-kebijakan-hingga-dugaan-bisnis-pejabat
Ilustrasi pemeriksaan Covid-19 dengan tes PCR. (Sumber: Kompastv/Ant)
Penulis : Fiqih Rahmawati | Editor : Desy Afrianti

Perubahan harga tersebut mengundang pertanyaan, mengapa harga tes PCR di Indonesia mahal?

Harga tes PCR di dunia memang berbeda-beda. Lembaga konsultan layanan penerbangan yang berbasis di Inggris, Skytrax, membuat perbandingan harga tes PCR di bandara di 70 negara.

Hasilnya, harga tes PCR termurah ditawarkan oleh Mumbai Airport, yakni 8 dolar AS atau sekitar Rp115.000. Sementara harga termahal, yang menempati peringkat pertama PCR termahal, ditawarkan oleh Kansai International Airport, Jepang, yakni 404 dollar AS atau sekitar Rp5,8 juta.

Skytrax menyebutkan bahwa harga tersebut dipengaruhi dengan lokasi bandara di negara maju dan faktor lain, seperti infrastruktur, staf, dan laboratorium yang mahal.

Indonesia masuk di nomor 47 untuk bandara di Denpasar (61 dolar AS) dan urutan 49 untuk bandara di Jakarta (54 dolar AS). Di Asia, Indonesia menduduki peringkat keenam dan ketujuh.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn), Aryati, menjelaskan alasan harga tes PCR begitu mahal.

Menurut Aryati, ada beberapa faktor yang membuat harga tes PCR tinggi, yakni harga alat dan bahan baku tes PCR, termasuk reagen ekstraksi dan bahan sekali pakai.

Sementara itu, Wakil Direktur Pendidikan dan Diklit cum Jubir Satgas Covid-19 RS UNS, Tonang Dwi Ardyanto mengatakan alasan harga tes  PCR mahal adalah proses tes, alat yang mahal, dan risiko penularan yang tinggi.

"Faktor yang membuat tes PCR begitu mahal yakni ada dua tahapan pemeriksaan PCR yakni ekstraksi dan PCR itu sendiri, reagen-nya mahal, alat-alatnya mahal, harus di lab dengan standar minimal BSL-2, SDM-nya harus terlatih, dan risiko kerja yang tinggi," kata Tonang, 1 November 2020.

Baca Juga: Biaya Perjalanan dan PCR Ibadah Haji 2022 Diusulkan Jadi Rp45 Juta Per Orang

Dugaan Bisnis PCR

Syarat tes PCR untuk perjalanan dan harga yang gonta-ganti ini menyebabkan tudingan adanya bisnis PCR yang mendulang keuntungan, alih-alih untuk tujuan kemanusiaan.

Majalah Tempo edisi 1 November 2021 mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan para pejabat publik dalam bisnis PCR.

Dalam Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Redaktur Majalah Tempo Hussein Abri Dongoran mengatakan bahwa beberapa pejabat dan politikus berafiliasi atau memiliki sejumlah perusahaan penyedia tes PCR.

Nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir pun disebut berada dalam pusaran bisnis PCR tersebut.

Melansir Indonesia Corruption Watch (ICW), Luhut dan Erick terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), perusahaan yang menjalankan layanan tes PCR.

Luhut diketahui memiliki saham sebanyak 242 lembar di PT GSI melalui dua perusahaannya, yakni PT Toba Sejahtera Tbk (TOBA) dan PT Toba Bumi Energi. Sementara Erick terafiliasi melalui Yayasan Adaro yang berada di bawah PT Adaro Energy Tbk.

ICW juga menduga keuntungan dari layanan tes PCR ini mencapai lebih dari Rp10,46 triliun.

Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan bahwa asumsi untung tersebut didapatkan dari perhitungan selisih harga tes PCR lama dengan yang baru, lalu dikalikan dengan jumlah spesimen yang diperiksa dari Oktober 2020 sampai 15 Agustus 2021.

Baca Juga: Cara 4 Pelaku Pemalsuan Tes PCR Beraksi, Bobol Peduli Lindungi

Baik Luhut maupun Erick, keduanya sama-sama membantah tudingan bisnis PCR tersebut. Mereka kompak bilang tidak mengambil keuntungan sama sekali.

Jubir Menko Marves Jodi Mahardi mengatakan bahwa GSI tidak pernah bekerja sama dengan BUMN dan pemerintah. Pembentukan GSI juga tidak bertujuan untuk mendulang untung dan berbisnis.

“(Dugaan) itu sama sekali tidak benar. GSI ini tidak pernah kerjasama dengan BUMN ataupun mendapatkan dana dari pemerintah,” kata Jodi, 1 November 2020 lalu.

Senada, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga juga membantah tudingan tersebut. Dia menjelaskan bahwa Yayasan Adaro yang terafiliasi dengan GSI tidak memiliki peran yang besar karena sahamnya yang kecil.

Selain itu, Erick Thohir juga tidak lagi aktif dalam urusan bisnis di Yayasan Adaro tersebut.

Masalah tak selesai dengan bantahan dua pejabat tersebut. Pada 16 November 2021, Ketua Majelis Jaringan ProDemokrasi (ProDem) Iwan Sumule melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya atas dugaan keterlibatan bisnis PCR.

Luhut dan Erick Thohir diduga melakukan tidak kolusi dan nepotisme melalui keterlibatan bisnis PCR tersebut.



Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Tribunnews


BERITA LAINNYA



Close Ads x