Kompas TV nasional hukum

KPK Sebut Puspom Hentikan Penyidikan Dugaan Korupsi Helikopter AW-101, Panglima TNI Akan Telusuri

Kompas.tv - 28 Desember 2021, 09:57 WIB
kpk-sebut-puspom-hentikan-penyidikan-dugaan-korupsi-helikopter-aw-101-panglima-tni-akan-telusuri
Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, akan menelusuri penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Augusta Westland (AW)-101. (Sumber: Kompastv)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV – Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa akan menelusuri penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Augusta Westland (AW)-101.

Penyidikan kasus ini dihentikan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, sebagaimana pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya harus telusuri dulu ya. Saya masih orientasi tugas-tugas saya lebih dalam, sehingga masih belum semua hal saya ketahui," ujar Andika kepada Kompas com, Selasa (28/12/2021) pagi.

Andika juga menyebut akan mempelajari berkas-berkas yang melibatkan TNI.

"Saya akan pelajari dulu berkas-berkas yang sudah dibuat sampai dengan kesimpulan," tegasnya.

Sebelumnya, KPK menyebut Puspom TNI menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101 yang berhubungan dengan TNI.

Baca Juga: Dugaan Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

"Masalah helikopter AW-101, koordinasi terkait masalah atau informasi yang berhubungan dengan pihak dari TNI sudah dihentikan proses penyidikannya," ujar Direktur Penyidikan KPK Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/12/2021).

Meski penyidikan yang berhubungan dengan TNI dihentikan, KPK memastikan proses terhadap tersangka dari pihak swasta dalam penyidikan kasus AW-101 tersebut tetap jalan.

Setyo mengatakana, KPK masih berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperoleh perhitungan nilai kerugian negara dalam perkara tersebut.

"Bagaimana dengan penanganan tersangka AW-101 yang ada di sini? yang pihak swastanya? untuk sampai dengan saat ini ini prosesnya masih jalan, kita lakukan koordinasi antara lain sebenarnya kita waktu itu sudah akan mengundang dari pihak BPK," ucap Setyo.

"Saya yakin beberapa hari ke depan mungkin di awal tahun koordinasi itu segera ditindaklanjuti dengan BPK untuk semakin memperjelas kira-kira apa saja yang masih kurang atau dibutuhkan oleh para pihak auditor," lanjut Setyo.

Sebelumnya, pada Selasa (12/11/2021), Wakil Ketua KPK saat itu, Laode M Syarif menyatakan salah satu kendala dalam penanganan kasus ini adalah kompleksitas penanganan dan pengumpulan alat bukti.

Padahal, di saat yang sama KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI untuk pengungkapan kasus.

"KPK menangani satu orang pihak swasta, sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer," kata Laode melalui keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).

TNI telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yakni Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.

Lainnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.

Selanjutnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.

Sementara, KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.

Kasus ini bermula saat TNI Angkatan Udara melakukan pengadaan satu unit helikopter AgustaWestland AW-101 pada 2016 lalu.

Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Marsekal Agus Supriatna menyebut pihaknya akan membeli enam unit helikopter yang berasal dari Inggris tersebut.

Baca Juga: KPK dan POM TNI Cek Fisik Helikopter AW-101

Rinciannya, tiga unit untuk alat angkut berat dan tiga unit untuk kendaraan VVIP.

Namun, Presiden Jokowi pada Desember 2015 silam menolak usulan pengadaan helikopter tersebut, karena menurutnya harga helikopter itu terlalu mahal di tengah kondisi perekonomian nasional yang belum terlalu bangkit.

Setahun kemudian, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski mendapat penolakan Presiden. Meski demikian, KSAU menegaskan bahwa helikopter yang dibeli hanya satu unit. Helikopter tersebut juga dibeli dengan anggaran TNI AU, bukan Sekretariat Negara.



Sumber : Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x