Kompas TV nasional peristiwa

Istana: Presiden Jokowi Sangat Tegas Tidak Bisa Tolerir Predator Seksual Anak

Kompas.tv - 9 Oktober 2021, 05:05 WIB
istana-presiden-jokowi-sangat-tegas-tidak-bisa-tolerir-predator-seksual-anak
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengumumkan perpanjangan PPKM dengan sejumlah daerah yang kini turun level hingga 30 Agustus 2021, Senin (23/8/2021). (Sumber: YouTube/Sekretariat Presiden)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Fadhilah

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat tegas dan tidak bisa mentolerir predator seksual terhadap anak.

Karena itu, Presiden Jokowi menginginkan pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera.

Pernyataan itu disampaikan oleh Deputi V Bidang Politik, Hukum, Hankam, HAM dan Antikorupsi serta Reformasi Birokrasi Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, guna merespons kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak kandung oleh bapaknya yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Jaleswari menyampaikan, dalam rapat terbatas tentang penanganan kasus kekerasan kepada anak pada 9 Januari 2020, Presiden Jokowi menekankan kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya.

“Terutama terkait dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak,” tegas Presiden Jokowi.

Baca Juga: Istana: Perkosaan dan Kekerasan Seksual terhadap Anak adalah Tindakan Keji

Atas dasar itu juga, sambung Jaleswari, pada 7 Desember 2020 Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Dalam pernyataannya, Jaleswari mengatakan, pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak adalah tindakan yang sangat serius dan keji.

“Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita,” tegas Jaleswari, Jumat (8/10/2021).

“Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat.”

Jaleswari menuturkan, kendati dalam kasus ini yang menjadi korban adalah anak-anak, suara korban seharusnya didengarkan dan perhatikan dengan saksama.

“Termasuk suara Ibu para korban. Bayangkan saja mereka adalah anak-anak kita sendiri,” ucap Jaleswari yang juga berlatar belakang aktivis perempuan.

Baca Juga: Istana Minta Polri Buka Kembali Kasus Perkosaan dan Kekerasan Seksual di Luwu Timur

Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Sumber: (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0))

Jaleswari juga menyampaikan bahwa peristiwa pemerkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat.

Oleh karena itu, Jaleswari meminta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membuka ulang proses penyelidikan kasus tindak perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami tiga kakak beradik berusia di bawah 10 tahun oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“Kalau memang ditemukan adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses penyelidikan pada akhir tahun 2019 yang lalu, atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh Ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap KAPOLRI bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut,” tegas Jaleswari Pramodhawardani.

Sebelumnya, kasus ini mencuat dan menjadi pembicaraan masyarakat berkat pemberitaan dari Project Multatuli.

Pemberitaan itu menyoroti pemberhentian penyelidikan kasus pemerkosaan pada tiga anak oleh seorang ayah di Luwu Timur yang juga merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN).



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x