Kompas TV nasional peristiwa

Polda Sulsel Nilai Istilah "Pemerkosaan Anak" Keliru dalam Kasus di Luwu Timur

Kompas.tv - 8 Oktober 2021, 22:57 WIB
polda-sulsel-nilai-istilah-pemerkosaan-anak-keliru-dalam-kasus-di-luwu-timur
Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Sumber: (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0))
Penulis : Ahmad Zuhad | Editor : Vyara Lestari

Baca Juga: Ibu Korban Pemerkosaan Anak di Luwu Timur akan Berikan Bukti-Bukti Baru pada Polisi

“Diagnosis selanjutnya vaginitis atau peradangan pada vagina dan konstipasi atau susah buang air besar,” imbuh berita Project Multatuli. 

Akan tetapi, hasil visum itu tidak masuk dalam pertimbangan Polres Luwu Timur dalam gelar perkara dan penghentian penyelidikan kasus pemerkosaan itu sekitar dua bulan setelah pelaporan.

“Secara penyidikan, penanganan daripada Polres Luwu sudah dilakukan dengan tidak adanya bukti pada saat itu, sehingga dilakukan SP3 (penghentian penyidikan) terhadap penanganan kasus ini,” kata Zulpan.

Pihak Polda Sumsel dan Polres Luwu Timur mengaku akan membuka penyelidikan kasus pemerkosaan anak ini, bila ada bukti baru.

“Ibu korban berjanji akan memberikan bukti-bukti baru kepada Polres Luwu Timur pada hari Selasa. Kita tunggu saja mudah-mudahan ada hal baru,” ujar Zulpan.

Sementara, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mendorong agar kepolisian memproses kasus ini hingga pengadilan.

“Kami dukung dibukanya penyelidikan kembali, tidak sekadar mengatakan akan dibuka, tapi betul-betul dibuka dan transparan. Jadi, bagaimana proses ini transparan dan bisa dilihat oleh publik,” kata Retno pada Kompas TV, Jumat malam.

Baca Juga: Polisi Berkelit Usai Bocorkan Identitas Ibu Korban Pemerkosaan Anak Luwu Timur, Begini Katanya

Ia pun mengkritik kepolisian karena menghentikan penyelidikan kasus pemerkosaan anak ini.

Apalagi, kepolisian menghentikan penyelidikan dengan dalih ibu korban mengalami gangguan kejiwaan.

“Ini yang mengakibatkan banyak korban kekerasan seksual tidak berani melapor atau memilih tidak melapor. Berdasarkan data, dari total kasus, jumlah korban yang melapor hanya sekitar 12 persen. Selebihnya tidak berani melapor karena memunculkan stigma atau ketakutan proses penyidikan panjang,” tegasnya.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x