Kompas TV nasional hukum

Elemen Kunci RUU PKS Dihilangkan Baleg, KOMPAKS: Ini Kemunduran Perlindungan Hak Korban

Kompas.tv - 3 September 2021, 12:37 WIB
elemen-kunci-ruu-pks-dihilangkan-baleg-kompaks-ini-kemunduran-perlindungan-hak-korban
Ilustrasi: Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menilai pengubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran pemenuhan hak korban kekerasan seksual. (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Penulis : Nurul Fitriana | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menilai pengubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah kemunduran pemenuhan hak korban kekerasan seksual.

Sebelumnya, pada 30 Agustus 2021, Tim Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengusulkan nama RUU PKS diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

KOMPAKS menilai adanya pembahasan RUU PKS di Baleg merupakan suatu progres yang baik. Namun adanya perubahan-perubahan mendasar dinilai sebagai suatu kemunduran.

“Perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual," kata perwakilan KOMPAKS Naila dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas TV, Jumat (3/9/2021).

Selain mengubah judul, kata Naila, Baleg juga menghapus elemen-elemen kunci RUU PKS.

Elemen tersebut meliputi tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Sementara hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana.

Baca Juga: Tim Baleg DPR RI Usul Nama RUU PKS Diubah Jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Lalu, penghapusan ketentuan tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

Sementara dalam naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI hanya memuat empat bentuk kekerasan seksual yakni: 1) Pelecehan seksual (fisik dan non fisik); 2) Pemaksaan Kontrasepsi; 3) Pemaksaan Hubungan Seksual; dan 4) Eksploitasi Seksual.

Sedangkan masyarakat sipil, kata Naila, merumuskan sembilan bentuk kekerasan seksual sebagaimana berdasar pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan.

Selain itu dalam draf terbaru Baleg juga terjadi penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual.

Serta tidak ada pengaturan tentang kekerasan seksual berbasis online dan korban kekerasan seksual berbasis disabilitas.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak Baleg DPR RI untuk menyesuaikan RUU PKS dengan kebutuhan korban.

"Sebagai masyarakat sipil kita perlu menguatkan kembali solidaritas kita pada korban kekerasan seksual dengan mendesak Baleg DPR RI untuk menyesuaikan materi RUU PKS dengan kebutuhan korban," pungkasnya.

Dalam pernyataan sikap yang diterima Kompas TV, KOMPAKS menuntut kepada Baleg DPR RI untuk:

  • Membuka ruang usulan perubahan naskah dan ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan naskah RUU PKS.
  • Memasukkan ketentuan yang mengakomodir kepentingan korban yakni pemenuhan hak perlindungan, hak pendampingan, dan hak pemulihan korban sebagaimana yang diusulkan melalui naskah akademik dan draf RUU PKS yang disusun oleh masyarakat sipil.
  • Memasukkan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, penanganan, dan pemulihan kekerasan seksual.
  • Memasukkan ketentuan tindak pidana Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Online sebagai bentuk pengakuan terhadap pengalaman korban kekerasan seksual yang beragam dan upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih komprehensif; dan
  • Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan.

Baca Juga: Kenapa Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual Banyak yang Diam? Komnas Perempuan: Sering Tak Dipercaya

Diberitakan Kompas TV sebelumnya, Baleg DPR RI melalui perwakilan tim penyusun, Sabari Barus, menyatakan pengubahan judul disesuaikan dengan pendekatan hukum yang mana kekerasan seksual sebagai pidana khusus.

"Terkait dengan aspek judul, sesuai dengan pendekatan hukum dalam kerangka penyusunan, kekerasan seksual sebagai pidana khusus, maka judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Sabari Barus dalam Rapat Pleno Penyusunan Draf RUU di Gedung Senayan Jakarta, Senin (30/8/2021).

Selain itu, Barus juga menjelaskan kata "penghapusan" terkesan sangat abstrak lantaran jika diartikan hilang sama sekali, akan mustahil untuk dicapai.

Oleh karena itu, pihaknya memandang perlu untuk mengubah kata penghapusan menjadi tindak pidana.

"Kami memandang tepat dengan menggunakan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujar Barus.

Selain karena arti dari "penghapusan" yang abstrak, Barus juga menyebut ada tiga pendekatan hukum yang dijadikan kerangka penyusunan RUU PKS.

Pertama, kekerasan seksual sebagai tindak pidana khusus di mana perbuatan dirumuskan dengan menyebut unsur-unsur sekaligus hukuman dari tindak pidana tersebut.

Kedua, melalui perspektif korban yang tentu berbeda dengan hukum pidana pada umumnya lantaran beorientasi pada penindakan pelaku.

Ketiga, pendekatan hukum acara yang menggunakan basis Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan aturan-aturan khusus sesuai karakter kekerasan seksual dalam RUU.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x