Kompas TV nasional berkas kompas

11 Maret 1966: Sejarah Supersemar, Surat Sakti yang Mampu Buat Soeharto Gulingkan Soekarno

Kompas.tv - 11 Maret 2021, 16:21 WIB
11-maret-1966-sejarah-supersemar-surat-sakti-yang-mampu-buat-soeharto-gulingkan-soekarno
Melalui Supersemar, Soeharto mampu menjadi pemimpin di Indonesia. (Sumber: Soeharto.co / Tribunnews)
Penulis : Rizky L Pratama

JAKARTA, KOMPAS.TV - Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) menjadi saksi ketika pada 11 September 1966, Soeharto mampu menggulingkan Soekarno dari kursi Presiden Republik Indonesia.

Dilansir dari Intisari, pada tahun tersebut memang kepemimpinan Soekarno sudah semakin lemah.

Tragedi G30S PKI yang terjadi dan kemudian dibubarkannya partai berideologi komunis tersebut membuat Soekarno harus melaksanakan rapat tiga hari untuk mengembalikan kekuasaannya.

Rapat pertama yang dilakukan pada 10 Maret 1966 dengan melibatkan para pemimpin partai politik berhasil membujuk mereka untuk menandatangani peringatan melawan rongrongan otoritas presiden akibat demonstrasi mahasiswa.

Rapat kedua yang dijadwalkan ke esokkan harinya pada 11 Maret 1966 urung terjadi karena ada rumor beredar Soekarno sudah dikepung oleh tentara yang tidak dikenal.

Soekarno yang saat itu berada di istana, segera meninggalkan istana dan pergi menuju Bogor. Pada malam itulah Soekarno disebut menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret atau yang biasa dikenal Supersemar.

Supersemar tersebut berisi pernyataan yang berbunyi pemindahan kekuasaan untuk mengembalikan tatanan kepada Mayjen Soeharto.

Setelah surat itu keluar, Soeharto langsung menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang dan mulai mengukuhkan posisinya sebagai kepala pemerintahan yang efektif.

Pada bulan Maret 1967, MPR menjadikan Soeharto sebagai pelaksana tugas presiden dan setahun setelahnya resmi ditunkuk menjadi Presiden kedua Republik Indonesia pada Maret 1968.

Soekarno yang telah lengser lalu ditetapkan menjadi tahanan rumah sampai kematiannya pada 21 Juni 1970.

Setelah berhasil melakukan kudeta, Soeharto langsung mengeluarkan kebijakan anyar bernama Orde Baru.

Soeharto kemudian memutuskan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan membawa Indonesia bergabung kembali dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kembali ke persoalan Supersemar. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Supersemar merupakan salah satu bagian dari rangkaian peristiwa panjang untuk melemahkan kekuasaan Soekarno.

Banyak pihak yang masih meragukan adanya pemberian mandat dari Soekarno kepada Soeharto.

Apalagi, hingga saat ini, naskah asli dari Supersemar tidak pernah ditemukan.

Dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016), Asvi mengatakan, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui.

Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.

"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dikutip dari Intisari.

Kontroversi berikutnya, Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan.

Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.

Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.

Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.

"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.

Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.

Soeharto membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.

Sementara menurut Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku presiden dan keluarganya.

Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.

Namun, Amir Machmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Sejarah lalu mencatat, peristiwa pada tahun 1960an tersebut merupakan salah satu kudeta terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x