Kompas TV nasional politik

KontraS Desak Jokowi Evaluasi Kinerja Jaksa Agung

Kompas.tv - 7 November 2020, 07:00 WIB
kontras-desak-jokowi-evaluasi-kinerja-jaksa-agung
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memberikan keterangan kepada wartawan di gedung Badan Diklat Kejaksaan RI, Jakarta, Senin (9/12/2019). (Sumber: ACHMAD NASRUDIN YAHYA/KOMPAS.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan evaluasi terhadap kinerja Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Hal ini menyusul vonis bersalah yang dijatuhkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pernyataan Burhanuddin bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, Jaksa Agung berperan penting dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Jika presiden Jokowi serius untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat sesuai dgn yg diucapkan pada saat kampanye, mekanisme evaluasi harus dijalankan," tegas Fatia Maulidiyanti kepada Kompas.tv, Jumat (6/11/2020).

Seharusnya, lanjut Fatia, Jaksa Agung menerima dan mengikuti tuntutan dari putusan tersebut. Bukan malah mengajukan upaya hukum berikutnya.

Baca Juga: PTUN: Jaksa Agung Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Soal Tragedi Semanggi I dan II

"Jaksa Agung telah melanggar sejumlah peraturan perundangan, serta asas kecermatan, profesionalitas dan asas pengharapan yang layak. Karena segala harapan dan kepercayaan publik akan terselesaikannya pelanggaran HAM berat yang tumbuh karena pembentukan berbagai kebijakan yang mendukungnya —baik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan atau UU Pengadilan HAM— tidak boleh diingkari oleh badan atau pejabat pemerintahan," terang Fatia.

Perbuatan Jaksa Agung, tambah Fatia, bukan sekedar kutipan biasa melainkan sebuah kebijakan. Karena diucapkan dalam kapasitas jabatan di hadapan Komisi II DPR.

"Hal itu menunjukkan bahwa belum ada kemauan politik dari negara untuk memberikan hak kepada korban sesuai mandat UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM dan untuk mengakui adanya pelanggaran HAM berat di Indonesia yg perlu diselesaikan oleh negara," tambah Fatia.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono dalam keterangan tertulis kepada Kompas.tv mengatakan, tim Jaksa Pengacara Negara selaku kuasa tergugat menghormati putusan PTUN Jakarta. Namun putusan itu dirasa tidak tepat, dan dipastikan akan mengajukan upaya hukum.

"Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peradilan Tata Usaha sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, maka Tim Jaksa Pengacara Negara selaku Kuasa Tergugat akan mempelajari terlebih dahulu isi putusan tersebut dan yang pasti akan melakukan upaya hukum," kata Hari.

Namun demikian, Hari tidak menjelaskan upaya hukum apa yang akan dilakukan tim Jaksa Pengacara Negara selaku Kuasa Tergugat.

PTUN Vonis Jaksa Agung Bersalah

Majelis Hakim PTUN Jakarta yang diketuai Andi Muh Ali Rahman memutuskan Jaksa Agung Burhanuddin telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

"Mewajibkan Tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya," demikian bunyi putusan PTUN Jakarta seperti dikutip dari putusan3.mahkamahagung.go.id, Rabu (4/11/2020).

Selain itu, Majelis Hakim Andi Muh Ali Rahman dalam putusannya juga menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp285.000.

Baca Juga: ICW Surati Jokowi Minta ST Burhanuddin Dicopot dari Jaksa Agung, Ada Apa?

Sebelumnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Kamis (16/1/2020) Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM.

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.

Burhanuddin dalam rapat itu juga memaparkan adanya hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM, yakni belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.

Terkait itu keluarga Korban Semanggi I dan II menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin ke PTUN Jakarta, Selasa (12/5/2020), atas pernyataannya yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat.

Peristiwa Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Saat itu puluhan ribu mahasiswa menggelar aksi penolakan terhadap Sidang Istimewa MPR/DPR mengenai pemerintahan transisi yang dipimpin BJ Habibie.

Aparat keamanan menghadang para demonstran sehingga terjadi pertumpahan darah yang mengakibatkan 17 orang tewas dan sebanyak 456 orang luka.

Sedangkan, Peristiwa Semanggi II terjadi pada 24 September 1999. Saat itu ribuan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa meminta pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang disahkan DPR dan pemerintah.

Beberapa poin dalam RUU PKB yang memunculkan kontroversi, salah satunya, jika disahkan, UU PKB akan menjadi pembenaran bagi TNI untuk melakukan operasi militer. Dalam peristiwa ini 12 orang tewas dan 217 luka-luka. (Andy Lala)




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x