Kompas TV kolom opini

Guru di Puncak Golgotha

Kompas.tv - 10 April 2020, 13:36 WIB
guru-di-puncak-golgotha
Ilustrasi salib (Sumber: Pixabay)

Kelompok elite-religius dan politik pun tak luput dari kritikan Guru dari desa ini. Mereka dikritik karena mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, korup, sementara rakyat hidup dalam kemiskinan

Karena itu, para pemimpin politik, para pemuka agama, dan tetua masyarakat bersekongkol untuk menangkap dan menyingkirkan Guru yang penuh belas kasih dan pengampun itu. Mereka merasa kewibawaan dan otoritasnya tergerus oleh tindakan dan omongan Guru. Maka, lahirlah konspirasi antara penguasa, pemimpin agama, dan para tokoh politik. 

Inilah konspirasi politik dan agama, yang berujung pada ketidakadilan dan penolakan terhadap kebenaran. Ajaran agama yang semestinya bersifat monastik dan sakral berkembang menjadi entitas profan dengan menempatkan para agamawan sebagai penjaga kekuasaan dari penguasa dengan mengikat pemahaman moral masyarakat secara dogmatik.

Guru paham semua itu. Karena itu, meskipun tidak berpolitik praktis, tetapi sikap politiknya sangat jelas: memperjuangkan bonum commune kesejahteraan bersama. 

Hal itu diwujudkan dengan berjuang membela dan menegakkan keadilan dan kebenaran, sesuai hukum yang berlaku. Kebenaran tidak pernah mati atau pudar, meskipun kerap kali dikorbankan. Sebab, veritas filia temporis, non auctoritatis, kebenaran adalah anak zaman, bukannya anak mereka yang berkuasa.

Sikap politik semacam itu jelas menegaskan bahwa  berpolitik  itu melayani. Melayani orang lain demi terwujudnya kesejahteraan.

Berpolitik itu artinya membuat orang menjadi sejahtera, menikmati keadilan, merasa diuwongke, merasa diperhatikan, merasa dipedulikan, dan tidak merasa dimarjinalkan. 

Semua itu diwujudkan bukan dengan cara-cara kekerasan, melainkan dengan semangat cinta-kasih. Sebab, setiap orang—tidak peduli siapa—diciptakan oleh tangan mahacinta yang sama.

Bahkan, ketika tubuhnya pada akhirnya tergantung antara langit dan bumi,  di salib,  sikap politik cinta-kasih dan pengampunnya masih diperlihatkan. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” doa Guru memohonkan pengampunan bagi semua orang yang mengkhianati, menyiksa, menghina, merendahkan martabatnya, dan memutuskan untuk disalib.

Di salib, hidup Guru berakhir. Tetapi, bagi Guru, kematiannya bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan: kemenangan cinta. Karena Guru mencintai, tidak hanya sampai terluka, bahkan sampai mati. Cinta telah mengalahkan kematian.

Dari puncak Bukit Golgotha, Guru mewariskan cinta–kasih, sebagai sumber utama kekuatan yang menggerakkan hati dan pikiran manusia. 

Dan kini, semua muridnya dan siapa pun  yang memiliki kehendak baik diuji, apakah dalam hati dan pikirannya masih ada cinta-kasih ketika menyaksikan dunia, negara, masyarakat di sekitarnya diporak-porandakan pandemi Covid-19? 

Apakah mereka hanya akan berdiri di pinggir jalan, seperti melihat guru berjalan terseok-seok memanggul salib menuju puncak Golgotha, atau menyingsingkan lengan baju membantu mereka yang sangat membutuhkan bantuan?

Dari puncak Golgotha, kasih itu mengalir ke segala penjuru, bagaikan sungai yang tidak pernah kering airnya. 

Tulisan ini telah tayang di situs Triaskun.id pada 9 April 2020. Artikel lengkapnya bisa dibaca di sini.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x