Kompas TV kolom opini

Kupandang Visuvius dari Balkon

Kompas.tv - 21 Januari 2024, 07:05 WIB
kupandang-visuvius-dari-balkon
Gunung Visuvius (kanan) dan Gunung Soma (Sumber: Astrid Dimitrika)

Tanggal 30 Oktober 1922, Mussolini yang berpakaian hitam dan bertopi, berjabat tangan dengan Raja Victor Emanuel III di Palazzo del Quirinale, Roma. Inilah awal Mussolini berkuasa menjadi diktator fasis sampai akhirnya ditembak mati pada hari Sabtu, 28 April 1945 oleh Walter Audisio. Salah satu gundiknya, Claretta Petacci, juga ditembak mati.
Jasad Mussolini dan Patacci, kemudian digantung dengan posisi kepala di bawah, di Piazza Loreto, Milan.

***

Jejak Mussolini masih bisa dilacak di Napoli, kota paling terbesar di Mezzogiorno, sebutan untuk wilayah selatan Italia. Michael Mccanne dalam The New Inquiry, 19 Februari 2014, menulis sebelum PD II sebagian besar penduduk wilayah itu menjadi buruh garap tanah pertanian dan perkebunan.

Masyarakat dikuasai dua kelompok besar: tuan tanah yang menguasai pertanian serta perkebunan dan jaringan kelompok kriminal. Di Sicilia, jaringan kriminal disebut Cosa Nostra, N’dragheta di Calabria, dan Camorra di Napoli.

Ketika kaum Fasis mengambil kendali Mezzogiorno, mereka menekan kelompok komunis yang mulai berkembang dan jaringan kekuatan feodal itu (tuan tanah dan jaringan kriminal).

Tapi, setelah Sekutu membebaskan Italia pada PD II dan menyingkirkan kelompok fasis, masyarakat dihadapkan pada pilihan: jaringan kriminal atau komunis

Mereka memilih jaringan kriminal. Sebab, memberikan pekerjaan kembali. Maka jaringan mafioso kuat lagi di Mezzogiorno. Kelompok ini lalu beraliansi dengan Partai Demokrat Kristen (yang mendominasi politik Italia hingga tahun 1990-an).

***

Rumah-rumah di lereng bukit, Napoli. (Sumber: Astrid Dimitrika)

Itu wajah lain dari Napoli. Kota yang didirikan oleh orang-orang Yunani pada tahun 470 SM itu punya banyak wajah dan cerita. Tentu wajah lain, yang ramah, yang adem, yang bersahabat, dan yang saleh ditampilkan oleh kota yang disebut “Kota Seribu Gereja” dan “Kota 500 Kubah” itu.

Sebutan itu menegaskan bahwa di Napoli ada banyak gereja, yang indah-indah, bersejarah, berseni arsitektur tinggi, dan yang punya banyak cerita. Sebut saja antara lain Katedral Napoli, Certosa di San Martino, San Francesco di Paola, Gesu Nuovo, Girolamini, San Domenico Maggiore, Sant’ Angelo a Segno, dan San Paolo Maggiore, dan Santa Chiara

Ada pula wajah O Sole Mio yang romantis, atau pizza margherita, pasta, macaroni omelette, eggplant parmigiana, masakan ikan laut dan tawar atau kopi yang begitu memanjakan lidah. Wajah pasar tradisional, Teluk Napoli sangat indah pula. Juga katakombe yang mistis.

Yang tak boleh dilupakan, selama berabad-abad, ibu kota wilayah Selatan ini telah menjadi kota dengan spiritualitas mistis, kudus yang berakar kuat dalam darah.

Napoli, tanah para suci dan pemujaan kuno. Di Napoli tidak hanya ada darah San Gennaro (Santo Januarius) yang banyak memberikan mukjizat tetapi masih banyak peninggalan para suci, martir dan pertapa lainnya, yang hingga kini masih disimpan di gereja-gereja, biara-biara, dan kapel bangsawan keluarga Neapolitan kuno, yang menjadi simbol kekuatan dan kehidupan.

Di Kompleks Biara Hati Kudus Yesus, di Ponticelli, Napoli, misalnya, yang hari itu kami kunjungi disimpan relikwi dan rupa-rupa benda-benda peninggalan Santa Caterina Volpicelli, pendiri tarekat itu.

Bagaimana Caterina Volpicelli ( dan juga para pembela iman yang lain) bisa menjadi orang suci, orang kudus? Apa yang mereka lakukan? Apakah di zaman sekarang ini–zaman yang konsumtif, yang transaksional, yang egois, yang rakus, yang korup, yang tidak adil, yang penuh kebohongan dan kemunafikan–dapat “melahirkan” orang kudus, orang suci?

Kata Paus Fransiskus, kita semua dipanggil menjadi suci dengan menjalani hidup kita dengan cinta dan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada.

Menjadi suci, katanya, berarti hidup sederhana, mengutamakan Tuhan, percaya pada-Nya dan bukan kekayaan atau kekuasaan duniawi, rendah hati, menghibur yang berduka, penuh belas kasihan dan memaafkan, bekerja untuk keadilan dan mencari perdamaian dengan sesama.

Tetapi, kata Paus, menjadi suci tidak mudah (terlebih lagi di zaman sekarang ini….di mana kepalsuan hati, kemunafikan kepura-puraan, penyalah-gunaan otoritas, dan menggunakan agama untuk kepentingan duniawi dari waktu ke waktu makin kuat dan menyebar luas).

Zaman memang telah berubah. Tuntutan zaman juga berubah. Tapi, orang seperti Mussolini–yang menghasut rakyat banyak, munafik, haus serta mabuk kekuasaan–atau para tuan tanah yang mengeksploitasi wong cilik miskin, rakyat jelata, dan jaringan kejahatan, saat ini masih tetap ada.

Bahkan, barangkali, sekarang justru jauh lebih ganas dibanding letusan Gunung Visuvius tahun 79 M yang mengubur kota Pompeii dan Herculabeum beserta puluhan ribu penduduknya sekaligus…

***


 




Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x