Kompas TV kolom opini

Boeng Besar

Kompas.tv - 14 Agustus 2021, 18:18 WIB
boeng-besar
Bung Karno dan teks proklamasi. (Sumber: Istimewa)

Bung Karno yang berasal dari budaya Jawa banyak mengambil nilai-nilai kerajaan kuno tentang sosok raja Jawa. Bung Hatta dari Tanah Minang yang punya budaya merantau, melihat dunia lebih luas, yang menuntunnya hingga ke Belanda.

Selama 11 tahun, Bung Hatta tinggal di Belanda untuk studi; memimpin organisasi orang-orang muda Indonesia yang belajar di Belanda, Perhimpunan Indonesia.

Bung Hatta menghadiri konferensi internasional di mana-mana di Eropa, memperkenalkan cita-cita, perjuangan, dan tujuan Indonesia Merdeka.  

Bung Hatta dan Bung Karno. (Sumber: Istimewa)

Seorang Indonesianis, Clifford Geertz (1992) mengatakan bahwa Soekarno sebagai mistikus Jawa dan eklektikus kawakan dan Hatta sebagai puritan Sumatera telah saling melengkapi tidak hanya secara politis melainkan juga secara primordial.

Dwitunggal juga merepresentasikan persekutuan antara Soekarno yang mewakili sinkretisme Jawa dan Hatta yang mewakili merkantilisme Islam dari luar Jawa.

Walau berasal dari budaya Jawa, kata BM Diah (1981) tetapi dalam perjuangannya untuk melepaskan bangsanya dari belenggu penjajahan, Bung Karno menggunakan pikiran-pikiran, cita-cita, dan kehendak, impian-impian orang-orang besar di dunia.

Bung Karno bertukar pikiran dan menelaah perbuatan Jengis Khan, Abraham Lincoln, Thomas Jefferson, Rousseau, Marx, Lenin, Sut Yat Sen, Mahatma Gandhi…Ia mencari ide dan perbandingan dengan bangsa-bangsa Arab, Tionghoa, Rusia, Amerika untuk menciptakan satu sintesa bagaimana membangkitkan bangsanya yang berkebudayaan majemuk, berkehidupan primordial, berwatak budak.

III

Sayangnya, sejarah tidak mengenal “andaikata”. Maka Cicero—Marcus Tullius Cicero—seorang negarawan, ahli hukum, dan juga cendekiawan Romawi kuno yang hidup antara 106-43 SM, mengatakan, historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis, sejarah merupakan saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa lalu.

Di balik sejarah ada nilai-nilai yang mau ditegakkan dalam kehidupan manusia seperti kebenaran, keberanian, kejujuran, daya juang, dan sebagainya.  

Walau Dwitunggal, secara politis berakhir pada 1 Desember 1956—bahkan  Bung Hatta mengatakan, “Dwitunggal telah berubah menjadi Dwitanggal” (Meutia Farida Hatta, 2015)—namun satu hal perlu dicatat bangsa Indonesia, pernah memperoleh suatu anugerah zaman.

Dwitunggal, memang sudah menjadi dwitanggal secara politis, tetapi komunikasi persaudaraan antara kedua tokoh besar—kata Jakob Oetama (2002) bersosok, berkarakter, berkepribadian, bervisi, memiliki komitmen, berintegritas, serta pergulatan dan suri tauladan—tidak pernah putus.

Meskipun dalam banyak hal berbeda pendapat dan pandangan dengan Bung Karno, tetapi Bung Hatta tetap bersahabat dengan Bung Karno.

Vera amicitia est inter bono, persahabatan sejati hanya terjadi di antara orang-orang yang tulus (baik). Bung Hatta—setelah berada di luar pemerintahan, di luar pusaran kekuasaan—tidak tergoda untuk mengritik secara terang-terangan, lantang, “di tengah lapangan” pun pula sekadar cari perhatian, misalnya, terhadap Bung Karno yang masih menjadi presiden.

Seluruh perjalanan hidup Kedua Bung Besar  dipersembahkan bagi bangsa dan negara, sampai akhir hayatnya. Kedua tokoh besar bangsa ini benar-benar memegang prinsip seperti yang dulu dikatakan Cicero (106-43) negarawan Romawi, non nobis solum nati sumus, kita tidak dilahirkan untuk diri kita sendiri.

Sebab, dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa hubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat pembawaannya. 

Itulah komitmen kemanusiaan Kedua Bung Besar. Komitmen seperti itu hanya bisa dicapai kalau “seseorang sudah bisa ‘melampaui dirinya’.” Sudah tidak berpikiran tentang keperluan duniawi bagi pribadinya sendiri.

Tetapi, selalu menanam kebajikan untuk kehidupan dan masa depan bangsanya. Itulah politik kemanusiaan, derajat tertinggi kesempurnaan hidup beriman.

Derajat politik kemanusiaan jauh lebih tinggi dibanding politik yang sekadar mencari kekuasaan; apalagi dengan menghalalkan segala cara, seperti yang sekarang ini terjadi tak peduli kondisi negeri seperti apa.

Segala cara dilakukan sekadar untuk mencari dan mendongkrak popularitas, membangun citra demi persiapan merebut kekuasaan.

Maka itu benar kata Bung Karno, “Jasmerah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah; sejarah para Bapak Bangsa, sejarah tujuan mendirikan negeri ini.

Bagaimana mereka menyingkirkan, bahkan membuang kepentingan diri, kelompok, golongan, partai, agama, suku, etnis dan sebagainya demi kepentingan yang lebih besar: bangsa dan negara.

Kata Bung Karno, “…Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi, ‘semua buat semua’….”

Maka itu, Kata BM Diah, Bung Karno menyenangi tema ini. “Jika ditanya pada kamu, wahai bangsa Indonesia, berapa jumlah kamu sekalian?” Maka Bung Karno menganjurkan agar dijawab pertanyaan itu demikian, “Kami adalah SATU.”

Masihkah Kita, satu dan bersatu? ***



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x