Kompas TV internasional kompas dunia

Putin Bantah Menghasut Negara Afrika Bekas Jajahan Prancis untuk Usir Bekas Penjajah Mereka

Kompas.tv - 14 Maret 2024, 08:08 WIB
putin-bantah-menghasut-negara-afrika-bekas-jajahan-prancis-untuk-usir-bekas-penjajah-mereka
Presiden Rusia Vladimir Putin hari Rabu, (13/3/2024) menegaskan Rusia tidak terlibat dan tidak pernah memprovokasi negara-negara di Afrika untuk melawan Prancis di mana negara-negara itu pernah dijajah oleh Prancis. Putin menegaskan tujuan Rusia tidak melibatkan hal semacam itu. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Desy Afrianti
Presiden Rusia Vladimir Putin hari Rabu, (13/3/2024) menegaskan Rusia tidak terlibat dan tidak pernah memprovokasi negara-negara di Afrika untuk melawan Prancis di mana negara-negara itu pernah dijajah oleh Prancis. Putin menegaskan tujuan Rusia tidak melibatkan hal semacam itu. (Sumber: AP Photo)

MOSKOW, KOMPAS.TV - Presiden Rusia Vladimir Putin hari Rabu, (13/3/2024) menegaskan Rusia tidak terlibat dan tidak pernah memprovokasi negara-negara di Afrika untuk melawan Prancis di mana negara-negara itu pernah dijajah oleh Prancis. Putin menegaskan tujuan Rusia tidak melibatkan hal semacam itu.

"Dalam sebuah wawancara dengan Rossiya 1 dan Ria Novosti, saya ingin menegaskan bahwa Rusia tidak pernah menghasut negara-negara Afrika untuk melawan Prancis. Ini bukan bagian dari tugas kami," ungkap Putin.

Putin mengatakan bahwa reaksi tajam dari Presiden Prancis Emmanuel Macron terhadap Moskow mungkin terkait dengan tindakan beberapa negara Afrika bekas jajahan Prancis. "Ya, saya pikir ada semacam kebencian. Tapi ketika kami mempertahankan kontak langsung dengannya, kami berbicara cukup terbuka mengenai topik ini," kata Putin.

"Kami tidak pergi ke Afrika untuk itu dan tidak memaksa Prancis keluar dari sana," kata pemimpin Rusia itu.

Putin mengatakan di banyak negara di mana Prancis secara historis pernah mendominasi, berbagai negara itu dinilai tidak terlalu ingin berurusan dengan Paris, meskipun ada negara-negara Afrika lainnya yang menerima kehadiran Prancis.

"Namun, kami tidak ada hubungannya dengan hal itu, kami tidak menghasut siapa pun di sana, kami tidak membuat siapa pun menentang Prancis. Kami tidak memiliki tujuan-tujuan seperti itu," ujar Putin.

"Sejujurnya, kami hanya berteman dengan mereka (negara-negara di Afrika)- itu saja. Mereka ingin mengembangkan hubungan dengan kami. Demi Tuhan, kami bersedia melakukan itu. Tidak ada yang perlu tersinggung," ujarnya.

Putin melanjutkan dengan mengatakan Rusia tidak memaksakan diri ke Afrika dan tidak memaksa Prancis keluar dari sana; para pemimpin Afrika sendiri ingin bekerja sama dengan Federasi Rusia.

"Kami tidak mendorong siapa pun keluar. Hanya saja para pemimpin Afrika di beberapa negara setuju dengan operator ekonomi Rusia dan ingin bekerja sama dengan mereka tetapi tidak ingin bekerja sama dengan Prancis dalam beberapa hal. Itu bukan inisiatif kami, melainkan inisiatif teman-teman kami di Afrika. Namun, tidak jelas mengapa mereka (Prancis) harus tersinggung pada kami dalam hal ini,” katanya.

"Rusia tidak memiliki ambisi untuk mempengaruhi hubungan antara negara Afrika dan Prancis. Keputusan ini murni berasal dari pemimpin Afrika yang ingin menjalin hubungan kerja sama dengan kami," kata Putin.

Baca Juga: Kudeta Niger: Diancam Intervensi Militer, Uranium Dicuri Prancis hingga Minta Bantuan Wagner Group

Niger tadinya dianggap mitra utama terakhir melawan ekstremisme di wilayah berbahasa Prancis, namun sentimen anti-Prancis membuka jalan bagi kelompok Wagner asal Rusia. (Sumber: Brittanica)

Putin menegaskan bahwa Rusia senantiasa membuka pintu untuk kerja sama dengan negara-negara lain, termasuk Afrika. Kerja sama ini tidak dimaksudkan untuk merugikan negara mana pun, melainkan untuk saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Kehadiran militer Prancis di bekas-bekas koloninya makin menghilang. Baru-baru ini, tiga negara Sahel Afrika, yaitu Burkina Faso, Mali, dan Niger meminta seluruh pasukan Prancis hengkang dari negara mereka. 

Pasukan Prancis terakhir di Niger meninggalkan negara itu akhir tahun 2023, yaitu hari Jumat (22/12/2023), menandai akhir dari lebih dari satu dekade operasi Prancis untuk melawan kelompok bersenjata di wilayah Sahel, Afrika Barat.

"Tanggal hari ini menandai berakhirnya proses penarikan pasukan Prancis di Sahel," kata Letnan Salim Ibrahim dari militer Niger, sebagaimana dilaporkan oleh Al Jazeera, Jumat (22/12/2023).

Prancis telah menyatakan rencananya untuk menarik sekitar 1.500 prajurit dan pilotnya dari bekas jajahannya setelah pemerintah militer Niger menuntut mereka pergi setelah terjadinya kudeta pada 26 Juli.

Ini adalah kali ketiga dalam kurun waktu kurang dari 18 bulan pasukan Prancis terpaksa meninggalkan sebuah negara di Sahel. Mereka sebelumnya dipaksa meninggalkan Mali, bekas koloni mereka, tahun lalu, dan Burkina Faso awal tahun ini setelah terjadi kudeta militer di kedua negara tersebut.

Ketiga negara ini telah berjuang melawan kekerasan pemberontak yang bermula di utara Mali pada tahun 2012, yang kemudian menyebar ke Niger dan Burkina Faso.

Namun, serangkaian kudeta di wilayah ini sejak tahun 2020, dan meningkatnya sentimen anti-Prancis di kalangan penduduk, telah merusak hubungan dengan Prancis dan mendorong mereka untuk mencari kerja sama yang lebih dekat dengan Rusia.



Sumber : Sputnik News


BERITA LAINNYA



Close Ads x