Kompas TV internasional kompas dunia

Buka Sidang Genosida Gaza, Afrika Selatan: Kejahatan Israel di Palestina Dimulai sejak 1948

Kompas.tv - 11 Januari 2024, 20:31 WIB
buka-sidang-genosida-gaza-afrika-selatan-kejahatan-israel-di-palestina-dimulai-sejak-1948
Duta Besar Afrika Selatan untuk Belanda Vusimuzi Madonsela (kanan) dan Menteri Hukum Afrika Selatan Ronald Lamola (tengah) dalam sidang di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, Kamis (11/1/2024). (Sumber: Patrick Post/Associated Press)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Edy A. Putra

DEN HAAG, KOMPAS.TV - Sidang perdana perkara dugaan genosida yang dilakukan Israel di Gaza, Palestina, digelar di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), Den Haag, Belanda, Kamis (11/1/2024).

Sidang dimulai dengan dengar pendapat dari perwakilan dan pengacara penggugat, Afrika Selatan.

Perwakilan Afrika Selatan menekankan, terdapat bukti kuat Israel melakukan genosida di Jalur Gaza. Pretoria pun menilai penindasan terhadap masyarakat Palestina tidak dimulai pada 7 Oktober 2023, melainkan sejak peristiwa Nakba 1948.

Duta Besar Afrika Selatan untuk Belanda Vusimuzi Madonsela menyampaikan dalam sidang bahwa negaranya mengakui Nakba atau pengusiran besar-besaran masyarakat Palestina melalui kolonisasi Israel sejak 1948.

Baca Juga: Sidang Genosida Israel di Gaza Dimulai, Rakyat Afrika Selatan Nobar di Kedubes Palestina

"Sejak awal, Afrika Selatan mengakui bahwa aksi-aksi genosida dan restu Negara Israel secara tidak terhindarkan membentuk bagian dari aksi ilegal yang kontinyu terhadap rakyat Palestina sejak 1948," kata Madonsela, dikutip Al Jazeera.

"Gugatan ini menempatkan aksi-aksi genosida Israel dan kealpaan (mencegah genosida) di antara konteks yang lebih luas, yakni apartheid Israel selama 75 tahun, pendudukan 56 tahun, dan 16 tahun pengepungan Jalur Gaza," lanjutnya.

Menteri Hukum Afrika Selatan Ronald Lamola pun menyatakan Israel mengontrol wilayah udara, perairan, perbatasan, air, listrik, infrastruktur sipil, serta peran-peran kunci pemerintahan di Jalur Gaza sejak 2004.

"Kekerasan dan penghancuran di Palestina dan Israel tidak dimulai pada 7 Oktober 2023. Masyarakat Palestina telah mengalami penindasan dan kekerasan sistematis selama 76 tahun terakhir, pada 6 Oktober 2023, dan setiap hari sejak 7 Oktober 2023," kata Lamola.

Salah satu pengacara Afrika Selatan, Max du Plessis, menilai Israel bertindak seakan di luar hukum dan tindakan-tindakan Israel di Gaza berusaha dibingkai sebagai konflik sederhana antara dua pihak.

Du Plessis menyatakan pernyataan yang menunjukkan niat dari otoritas Israel dan tindakan negara itu di Gaza dapat dikategorikan sebagai genosida.

Afrika Selatan pun dinilai wajib mencegah genosida dengan kekuasaan yang dimiliki sesuai amanat Konvensi Genosida 1948.

"Izinkan saya perjelas, kewajiban Afrika Selatan dilandasi oleh kebutuhan untuk melindungi masyarakat Palestina di Gaza dan hak mutlak mereka untuk tidak menjadi korban tindakan genosida," kata Du Plessis.

Selain menggugat Israel atas tuduhan genosida, Afrika Selatan juga meminta Mahkamah Internasional memerintahkan Tel Aviv untuk menangguhkan operasi militer di Jalur Gaza.

Baca Juga: Sidang Genosida Palestina Digelar Pekan Depan, Bisakah Mahkamah Internasional Menghukum Israel?

Menurut data terkini Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, serangan Israel sejak 7 Oktober lalu telah membunuh sedikitnya 23.357 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 9.600 anak-anak dan 6.750 perempuan.

Lebih dari 85 persen dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza pun terusir dari rumah mereka dan terancam kelaparan akibat pengepungan total Israel.

Afrika Selatan meminta Mahkamah Internasional menerbitkan perintah sementara agar Israel menangguhkan serangannya ke Jalur Gaza.

Apabila majelis hakim Mahkamah Internasional mengabulkan, perintah ini dapat diterbitkan dalam waktu beberapa pekan.

Sementara putusan kasus genosida yang diduga dilakukan Israel, diperkirakan akan keluar setelah bertahun-tahun.

Saat ini, ICJ pun masih memiliki kasus aktif genosida Rohingya oleh Myanmar yang digugat Gambia pada 2019 silam.

Meskipun demikian, profesor hukum internasional dari Trinity College Dublin, Michael Becker, menduga perintah sementara itu akan sulit diputuskan.

Pasalnya, Hamas bukan menjadi pihak dalam kasus ini sehingga pengadilan tidak bisa mengeluarkan perintah untuk dua pihak yang berkonflik.

"Hamas bukanlah pihak dalam gugatan ini dan ICJ mungkin akan ragu memerintahkan Israel menangguhkan tindakannya saat mereka tidak bisa meminta Hamas melakukan hal yang sama," kata Becker, seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (10/1).

Becker menambahkan, Mahkamah Internasional berkemungkinan akan memerintahkan Israel untuk menunjukkan pembatasan lebih besar atas operasi militer mereka di Jalur Gaza.

Baca Juga: Bos Bank Sentral Israel Ketakutan Ekonomi Zionis Ambruk gegara Perang Gaza, Peringatkan Netanyahu

Di lain sisi, jenis hukuman yang bisa diputuskan untuk Israel di Mahkamah Internasional disebut sulit diprediksi. Begitu pula dengan pelaksanaan hukuman tersebut.

Israel diwajibkan mematuhi putusan Mahkamah Internasional yang mengikat secara hukum dan tidak bisa mengajukan banding. Namun, Tel Aviv berpeluang besar tidak mematuhinya.

Pasalnya, Mahkamah Internasional akan mengalihkan pelaksanaan putusan kepada Dewan Keamanan PBB jika terhukum tidak patuh.

Di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat (AS), sekutu nomor wahid Israel, memegang hak veto yang bisa membatalkan resolusi.

Sejak 1945, AS tercatat telah memveto 34 dari 36 draf resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Israel-Palestina.


 




Sumber : Al Jazeera


BERITA LAINNYA



Close Ads x