Kompas TV internasional kompas dunia

Sedih Berubah Menjadi Murka, Banyak Korban Gempa Turki dan Suriah Saksikan Keluarga Meregang Nyawa

Kompas.tv - 13 Februari 2023, 10:22 WIB
sedih-berubah-menjadi-murka-banyak-korban-gempa-turki-dan-suriah-saksikan-keluarga-meregang-nyawa
Zafer Mahmut Boncuk, 60, berteriak marah di samping jasad ibunya yang telah meninggal, Ozcan Bencuk, di Antakya, tenggara Turki, Sabtu, 11 Februari 2023. Ozcan Boncuk, 75, terjebak saat gempa yang melanda wilayah perbatasan Turki dan Syria dan meninggal pada hari Selasa, sehari kemudian. (Sumber: AP Photo/Bernat Armangue)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Iman Firdaus

ANTAKYA, KOMPAS.TV - Rasa sedih korban selamat gempa Turki dan Suriah dilaporkan terlihat mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena banyak korban selamat melihat keluarganya meregang nyawa di puing reruntuhan, disebabkan lambatnya pertolongan darurat.

Lambatnya uluran bantuan darurat dipandang berdampak pada kurangnya personil turun ke lapangan di masa-masa kritis. Padahal, berbagai infrastruktur hancur  usai gempa dahsyat menghantam Turki dan Suriah.

Selain itu, buruknya kualitas pembangunan gedung dan bangunan dipandang sebagai sebab utama berbagai gedung runtuh begitu saja menimpa orang didalamnya. Sementara bangunan yang mematuhi aturan pembangunan tetap utuh walau rusak dihantam gempa, sehingga penghuninya sempat menyelamatkan diri. 

Ketika gedung apartemen yang dihuni Zafer Mahmut Boncuk runtuh, misalnya,  dia menemukan ibunya yang berusia 75 tahun masih hidup tetapi terjepit di bawah reruntuhan di Antakya, Turki.

Selama berjam-jam, Boncuk dengan panik mencari seseorang di kota kuno tersebut  mencari bantuan untuk membantunya mengeluarkan sang Ibunda. 

Namun Boncuk hanya bisa berbicara dengan Ibunya, menggenggam tangannya dan memberinya air minum. 

Teriakan minta tolong Boncuk sia-sia karena tidak ada seorangpun yang datang, dan sang Ibu akhirnya meninggal dunia hari Selasa, (7/2/2023), sehari setelah gempa, di depan mata sang anak yang hancur hatinya karena tidak berdaya menolong sang Ibu.

Seperti banyak orang lain di Turki, kesedihan dan ketidakpercayaannya mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena tanggapan yang dipandang tidak adil dan tidak efektif terhadap bencana bersejarah yang menewaskan puluhan ribu orang di Turki dan di Suriah.

Boncuk mengarahkan kemarahannya kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan, terutama karena dia tampak begitu dekat dengan penyelamatan tetapi tidak ada yang datang.

Baca Juga: Pemerintah Turki Siapkan Pemakaman Massal Korban Gempa di Kota Antakya

Seorang perempuan berduka saat pemakaman salah satu keluarganya korban gempa di perbatasan Turki dan Suriah lima hari lalu di Antakya, tenggara Turki, hari Sabtu, 11 Februari 2023. (Sumber: AP Photo/Bernat Armangue)

Jenazah sang Ibu akhirnya dipindahkan hari Minggu, hampir seminggu setelah bangunan itu runtuh. Sementara tubuh ayahnya hingga saat ini masih dibawah reruntuhan.

“Apa yang akan terjadi jika itu ibumu sendiri, Recep Tayyip Erdogan sayang? Apa yang terjadi saat menjadi pemimpin dunia? Kamu ada di mana? Di mana?" Boncuk berteriak.

“Saya memberinya air untuk diminum, saya membersihkan wajahnya dari puing-puing. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan menyelamatkannya. Tapi saya gagal,” kata Boncuk, 60 tahun.

“Terakhir kali kami berbicara, saya bertanya apakah saya harus membantunya minum air. Dia bilang tidak, jadi saya mengusapkan air ke bibirnya. Sepuluh menit kemudian, dia meninggal.”

Dia menyalahkan "ketidaktahuan dan kurangnya informasi dan perhatian, itulah mengapa ibu saya meninggal di depan mata saya."

Banyak orang di Turki mengungkapkan rasa frustrasi yang sama bahwa operasi penyelamatan sangat lambat sejak gempa 6 Februari dan waktu yang berharga hilang selama jendela sempit untuk menemukan korban yang masih hidup di bawah reruntuhan.

Korban yang lain, terutama di provinsi Hatay selatan dekat perbatasan Suriah, mengatakan pemerintah Erdogan terlambat memberikan bantuan ke wilayah yang paling terpukul karena apa yang mereka curigai sebagai alasan politik dan agama.

Di kota tenggara Adiyaman, Elif Busra Ozturk menunggu di luar puing-puing sebuah bangunan pada hari Sabtu di mana paman dan bibinya terjebak dan diyakini tewas, dan di mana mayat dua sepupunya telah ditemukan.

Baca Juga: Ribuan Bangunan Runtuh, Turki Buru Kontraktor yang Bangun di Daerah Terdampak Gempa

Warga berjalan melewati sebuah bangunan yang runtuh akibat gempa di Nurdagi, Turki bagian tenggara, Kamis, 9 Februari 2023. Rasa sedih korban selamat gempa Turki dan Suriah dilaporkan terlihat mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena banyak korban selamat melihat keluarganya meregang nyawa di puing reruntuhan karena lambatnya pertolongan darurat. (Sumber: AP Photo/Petros Giannakouris)

“Selama tiga hari, saya menunggu bantuan di luar. Tidak ada yang datang. Ada begitu sedikit tim penyelamat dan mereka hanya melakukan intervensi di tempat-tempat yang mereka yakini masih ada orang yang masih hidup,” katanya.

Di kompleks yang sama, Abdullah Tas, 66, mengatakan dia tidur di mobil dekat gedung tempat putra, menantu, dan empat cucunya dimakamkan. Dia mengatakan tim penyelamat pertama kali tiba empat hari setelah gempa terjadi. Associated Press tidak dapat memverifikasi klaimnya secara independen.

"Apa gunanya bagi orang-orang di bawah puing-puing?" dia bertanya.

Penonton berdiri di belakang garis polisi hari Sabtu di Antakya saat buldoser menggali gedung apartemen mewah bertingkat tinggi yang telah roboh ke sisinya.

Lebih dari 1.000 penduduk berada di gedung 12 lantai itu ketika gempa melanda, menurut kerabat yang menyaksikan upaya pemulihan. Mereka mengatakan ratusan orang masih di dalam tetapi mengeluhkan upaya untuk membebaskan mereka lambat dan tidak serius.

“Ini adalah kekejaman, saya tidak tahu harus berkata apa,” kata Bediha Kanmaz, 60. Jenazah putranya dan cucunya yang berusia 7 bulan kini sudah ditarik dari gedung, masih dalam kondisi berpelukan, tetapi putrinya dan iparnya masih di dalam.


 

“Kami membuka kantong mayat untuk melihat apakah itu keluarga kami, kami memeriksa apakah itu anak-anak kami. Kami bahkan memeriksa yang tercabik-cabik,” katanya tentang dirinya dan kerabat lainnya yang berduka.

Kanmaz juga menyalahkan pemerintah Turki atas respons yang lambat, dan menuduh layanan penyelamatan nasional gagal berbuat cukup untuk memulihkan orang hidup-hidup.

Baca Juga: Proses Pencarian Korban Gempa Turki Terhambat Aksi Kekerasan dan Penjarahan, Libatkan Senjata Api

Tentara Turki berpatroli di Antakya, Sabtu, (11/2/2023). Rasa sedih korban selamat gempa Turki dan Suriah dilaporkan terlihat mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena banyak korban selamat melihat keluarganya meregang nyawa di puing reruntuhan karena lambatnya pertolongan darurat. (Sumber: AP Photo/Bernat Armangue)

Dia dan orang lain di Antakya mengungkapkan keyakinan bahwa kehadiran minoritas besar Alevis, sebuah komunitas Islam Anatolia yang berbeda dari Islam Sunni dan Syiah dan Alawit di Suriah, menjadikan mereka prioritas rendah bagi pemerintah. 

Secara tradisional, hanya sedikit orang Alevi yang memilih partai penguasa Erdogan. Namun, tidak ada bukti kawasan itu diabaikan karena alasan sektarian.

Erdogan hari Rabu mengatakan upaya tangap darurat bencana terus berlanjut di 10 provinsi yang terkena dampak dan menolak tuduhan tidak ada bantuan dari lembaga negara seperti militer sebagai "kebohongan, fitnah palsu."

Tapi dia mengakui kekurangannya. Para pejabat mengatakan upaya penyelamatan di Hatay awalnya diperumit oleh rusaknya landasan pacu bandara setempat dan kondisi jalan yang buruk.

Kemarahan atas tingkat kehancuran, bagaimanapun, tidak terbatas pada individu. Pihak berwenang Turki telah menahan atau mengeluarkan surat perintah penahanan untuk puluhan orang yang diduga terlibat dalam pembangunan gedung yang runtuh, dan menteri kehakiman berjanji akan menghukum mereka yang bertanggung jawab.

Kanmaz menyalahkan kelalaian pihak pengembang gedung apartemen tempat keluarganya terbunuh, “Jika saya bisa melingkarkan tangan saya di leher kontraktor, saya akan mencabik-cabiknya,” katanya.

Kontraktor itu, yang mengawasi pembangunan gedung 250 unit, ditahan di Bandara Istanbul hari Jumat sebelum kabur terbang ke luar negeri, lapor kantor berita resmi Turki Anadolu. Hari Sabtu, dia secara resmi ditangkap. Pengacaranya mengatakan, ini hanya perkara masyarakat mencari kambing hitam.

Di Turki selatan yang multietnis, ketegangan lain meningkat. Beberapa menyatakan frustrasi bahwa pengungsi Suriah yang melarikan diri ke wilayah itu dari perang saudara, membebani sistem kesejahteraan yang terbatas dan mereka bersaing untuk mendapatkan sumber daya dengan orang-orang Turki.

Baca Juga: Indonesia Kirim 47 Personel Tim SAR dan 5 Ton Logistik ke Lokasi Gempa Turki-Suriah

Atari Kales, 65 tahun, berduka atas menantu perempuan dan dua cucunya di dekat bangunan yang runtuh tempat mereka terjebak di Antakya pada Sabtu, 11 Februari 2023. Rasa sedih korban selamat gempa Turki dan Suriah dilaporkan terlihat mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena banyak korban selamat melihat keluarganya meregang nyawa di puing reruntuhan karena lambatnya pertolongan darurat. (Sumber: AP Photo/Petros Giannakouris)

“Ada banyak orang miskin di Hatay, tapi mereka tidak memberi kami kesejahteraan; mereka memberikannya kepada orang-orang Suriah. Mereka memberi begitu banyak kepada warga Suriah,” kata Kanmaz. “Ada lebih banyak orang Suriah daripada orang Turki di sini.”

Ada tanda-tanda hari Sabtu bahwa ketegangan bisa memuncak.

Dua kelompok bantuan Jerman dan Angkatan Bersenjata Austria untuk sementara menghentikan pekerjaan penyelamatan mereka di wilayah Hatay dengan alasan kekhawatiran akan keselamatan staf mereka. 

Mereka melanjutkan pekerjaan setelah tentara Turki mengamankan daerah itu, cuit juru bicara Kementerian Pertahanan Austria.

“Ada peningkatan ketegangan antara berbagai kelompok di Turki,” kata Letnan Kolonel Pierre Kugelweis dari Angkatan Bersenjata Austria kepada kantor berita APA. “Tembakan dilaporkan telah dilepaskan.”

Kantor berita Jerman dpa melaporkan bahwa Steven Berger, kepala operasi kelompok bantuan ISAR Jerman, mengatakan “dapat dilihat kesedihan perlahan berubah menjadi kemarahan” di wilayah Turki yang terkena dampak.

Bagi Kanmaz, itu adalah campuran kesedihan dan kemarahan.

"Aku marah. Hidup sudah berakhir, ”katanya. “Kami hidup untuk anak-anak kami; yang paling penting bagi kami adalah anak-anak kami. Kami ada jika mereka ada. Sekarang kita sudah berakhir. Semua yang Anda lihat di sini sudah berakhir.




Sumber : Kompas TV/Associated Press


BERITA LAINNYA



Close Ads x