Kompas TV internasional kompas dunia

Macron dan Le Pen Sengit di Pilpres Prancis Putaran 2 Hari Ini, Hasil Tergantung Jumlah Pencoblos

Kompas.tv - 24 April 2022, 19:45 WIB
macron-dan-le-pen-sengit-di-pilpres-prancis-putaran-2-hari-ini-hasil-tergantung-jumlah-pencoblos
Seorang wanita memberikan suaranya di Henin-Beaumont, Prancis utara, Minggu (24/4/2022). Rakyat Prancis mulai memberikan suara mereka dalam pemilihan presiden putaran kedua pada Minggu yang berdampak pada masa depan Eropa. Petahana Emmanuel Macron di posisi terdepan tetapi melawan tantangan berat dari penantang dari sayap kanan, Marine Le Pen. (Sumber: AP Photo/Michel Spingler)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Edy A. Putra

PARIS, KOMPAS.TV — Rakyat Prancis pergi ke bilik pemungutan suara dalam pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua, Minggu (24/4/2022). Mereka memilih antara petahana Emmanuel Macron yang diunggulkan dan Marine Le Pen, pemimpin kubu sayap kanan Prancis.

Seperti dilaporkan Associated Press, Minggu, Macron yang berhaluan tengah meminta pemilih untuk memberinya kepercayaan untuk memimpin untuk masa jabatan lima tahun kedua meskipun masa kepemimpinan pertamanya diguncang protes, krisis, pandemi Covid-19, dan perang di Ukraina.

Kemenangan Macron dalam pemungutan suara ini akan menjadikannya presiden Prancis pertama dalam 20 tahun yang meraih masa jabatan kedua.

Hasil pemungutan suara di Prancis, negara bersenjata nuklir dengan salah satu ekonomi terbesar di dunia, juga dapat berdampak pada konflik di Ukraina. Pasalnya, Prancis memainkan peran kunci dalam upaya diplomatik dan dukungan untuk sanksi terhadap Rusia.

Sementara pesaing Macron, Le Pen, makin mendapat dukungan dan mencapai tingkat dukungan tertinggi di masa kampanye.

Persaingan keduanya dipandang sangat ketat, banyak yang memandang hasil pemungutan suara akan sangat bergantung pada seberapa banyak pemilih yang menggunakan hak suaranya pada hari pemilihan. 

Pada tengah hari waktu Prancis, sudah 26 persen dari mereka yang memiliki hak pilih memberikan suaranya, sedikit lebih tinggi dari titik waktu yang sama dalam pemungutan suara putaran pertama pada 10 April lalu.

Baca Juga: Bagi Pemilih Selain Macron dan Le Pen, Pilpres Prancis seperti Memilih antara Kolera atau Wabah

Surat suara pemilihan presiden Prancis putaran kedua di Marseille pada Minggu (24/4/2022). Rakyat Prancis mulai memberikan suara mereka dalam pemilihan presiden putaran kedua pada Minggu yang berdampak pada masa depan Eropa. (Sumber: AP Photo/Daniel Cole)

Banyak dari pemilih diharapkan pergi ke bilik suara memilih Macron untuk mencegah Le Pen dan usulan-usulannya yang dianggap terlalu ekstrem dan anti-demokrasi, berkuasa.

Rencana-rencana Le Pen antara lain melarang penggunaan jilbab bagi perempuan muslim di tempat-tempat umum, atau tentang posisinya terkait hubungan Prancis dan Rusia.

“Saya tenang,” kata Le Pen saat memberikan suara di kota utara Henin-Beaumont.

"Saya punya keyakinan pada rakyat Prancis."

Le Pen berfoto selfie dengan penggemar, ketika Macron menyapa orang banyak dengan jabat tangan dan pelukan di kota pesisir Le Touquet di Selat Inggris.

Kedua kandidat berusaha mendapatkan 7,7 juta suara dari kandidat sayap kiri, Jean-Luc Melenchon, yang dikalahkan pada putaran pertama pada 10 April.

Bagi banyak orang yang memilih kandidat sayap kiri di putaran pertama, putaran kedua menghadirkan pilihan yang tidak menyenangkan antara seorang nasionalis yaitu Le Pen, dan seorang presiden yang beberapa orang merasa telah berbelok ke kanan selama masa jabatan pertamanya.

Hasilnya dapat bergantung pada bagaimana pemilih sayap kiri mengambil keputusan: antara mendukung Macron, atau abstain dan membiarkannya berjuang sendiri melawan Le Pen.

Memilih di sebelah barat Paris di pinggiran Le Pecq, Stephanie David memberikan suaranya untuk Macron “tanpa banyak kegembiraan.” Pada putaran pertama, dia memilih kandidat Partai Komunis.

“Itu adalah pilihan yang paling tidak buruk,” kata pekerja logistik transportasi itu.

Le Pen adalah kutukan baginya, "Bahkan jika dia mencoba untuk melunakkan retorikanya, saya tidak bisa menerimanya."

Baca Juga: Capres Sayap Kanan Prancis Berpeluang Menangi Pilpres, Ini Gambaran bila Marine Le Pen Jadi Presiden

Penantang sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, memberikan suaranya pada pilpres putaran kedua di Henin-Beaumont, Prancis utara, Minggu, 24 April 2022. (Sumber: AP Photo/Michel Spingler)

Semua jajak pendapat dalam beberapa hari terakhir menunjukkan kemenangan Macron yang pro-Eropa dan baru berusia 44 tahun. Namun margin atas saingan sayap kanannya yang berusia 53 tahun, sangat bervariasi.

Jajak pendapat juga memperkirakan kemungkinan rekor jumlah orang yang akan memberikan suara kosong atau tidak memilih sama sekali.

Pensiunan Jean-Pierre Roux memilih untuk mencegah terpilihnya ayah Le Pen, Jean-Marie, pada putaran kedua 2002 dan sekali lagi melawan putrinya pada 2017.

Tetapi Roux tidak dapat memaksa dirinya untuk memilih Macron lagi kali ini. Dia memasukkan amplop kosong ke dalam kotak suara.

Dia menganggap Macron terlalu arogan untuk dipilih kembali, seraya mengutip keluhan umum terhadap Macron yang juga dikeluhkan pesaingnya, Le Pen.

"Saya tidak menentang ide-idenya tetapi saya tidak tahan dengan orang itu," katanya.

Le Pen berusaha menarik pemilih kelas pekerja yang kewalahan dengan harga yang melonjak di tengah serangan Rusia di Ukraina, sebuah pendekatan yang bahkan diakui Macron menemukan resonansi di masyarakat luas.

Le Pen mengatakan, menurunkan biaya hidup akan menjadi prioritasnya jika terpilih sebagai presiden wanita pertama Prancis, menggambarkan dirinya sebagai kandidat bagi pemilih yang tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Baca Juga: Kursi Presiden Prancis Sengit Diperebutkan, Ternyata Ini Kerja dan Wewenangnya

Presiden Prancis Emmanuel Macron berjabat tangan dengan simpatisan saat dia menuju ke tempat pemungutan suara di Le Touquet, Prancis utara, Minggu, 24 April 2022. (Sumber: AP Photo/Thibault Camus)

Le Pen mengatakan, kepresidenan Macron membuat negara itu terpecah.

Dia berulang kali merujuk pada apa yang disebut gerakan protes rompi kuning yang mengguncang pemerintahan Macron sebelum pandemi Covid-19, dengan demonstrasi rusuh selama berbulan-bulan yang memprotes kebijakan ekonominya yang menurut sebagian orang, merugikan orang miskin.

Kampanye kepresidenan Prancis sangat menantang bagi pemilih keturunan imigran dan agama minoritas, terutama karena kebijakan yang diusulkan Le Pen yang secara khusus menyasar muslim.

Macron juga menggembar-gemborkan pencapaian lingkungan dan iklimnya dalam upaya untuk menarik pemilih muda yang populer dengan kandidat sayap kiri.

Warga dan terutama kaum milenial berbondong-bondong memilih Melenchon. Banyak pemilih muda secara khusus terlibat dengan isu-isu iklim.

Meskipun Macron dikaitkan dengan slogan "Jadikan Planet ini Kembali Hebat," dalam masa jabatan lima tahun pertamanya, ia menyerah kepada pengunjuk rasa rompi kuning yang marah, akhirnya membatalkan kenaikan pajak atas harga bahan bakar.

Macron mengatakan, perdana menteri berikutnya akan bertanggung jawab atas perencanaan lingkungan karena Prancis berusaha untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050.

Le Pen, yang pernah dianggap skeptis terhadap perubahan iklim, ingin menghapus subsidi untuk energi terbarukan. Dia bersumpah untuk membongkar pembangkit listrik tenaga angin dan berinvestasi dalam energi nuklir dan energi air.




Sumber : Kompas TV/Associated Press


BERITA LAINNYA



Close Ads x