Kompas TV internasional kompas dunia

Pengeboman AS yang Bunuh 64 Perempuan dan Anak di Suriah 2019 Ternyata Perintah Operasi Khusus

Kompas.tv - 14 November 2021, 23:59 WIB
pengeboman-as-yang-bunuh-64-perempuan-dan-anak-di-suriah-2019-ternyata-perintah-operasi-khusus
Asap tebal membubung di atas desa Baghouz, di pedesaan provinsi Deir Ezzor, Suriah timur pada 18 Maret 2019 (Sumber: Al-Arabiya English via AFP)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Fadhilah

Militer mengatakan setiap laporan korban sipil diselidiki dan temuan dilaporkan secara terbuka, menciptakan apa yang disebut militer sebagai model akuntabilitas.

Tapi serangan di Baghuz menceritakan kisah yang berbeda.

Rinciannya menunjukkan, sementara militer memberlakukan aturan ketat untuk melindungi warga sipil, satuan tugas Operasi Khusus berulang kali menggunakan aturan lain untuk menghindari aturan ketat itu.

Bahkan dalam kasus Baghuz yang bukan main jumlah korbannya, yang akan menempati urutan ketiga dalam peristiwa korban sipil terburuk militer di Suriah jika 64 kematian warga sipil diakui, peraturan untuk melaporkan dan menyelidiki potensi kejahatan tidak diikuti, dan tidak ada yang bertanggung jawab.

Hampir 1.000 serangan menghantam sasaran di Suriah dan Irak pada 2019, menggunakan 4.729 bom dan peluru kendali.

Penghitungan resmi militer warga sipil yang tewas sepanjang tahun itu hanya 22, dan serangan di Baghuz pada 18 Maret 2019 itu tidak ada dalam daftar.

Pertempuran di Baghuz mewakili akhir dari kampanye pimpinan AS selama hampir lima tahun untuk mengalahkan ISIS di Suriah.

Di darat, Satuan Tugas 9 mengoordinasikan serangan darat dan serangan udara. Unit tersebut termasuk tentara dari Grup Pasukan Khusus ke-5 dan tim komando elit Angkatan Darat Delta Force.

Baca Juga: 13 Tentara Suriah Tewas dalam Serangan Bom terhadap Bus Militer di Damaskus

Analisis satelit lokasi serangan udara koalisi pimpinan AS di Baghuz (19 Januari - 20 Februari 2019) (Sumber: Human Rights Watch/ Planet Labs Inc.)

Seiring waktu, beberapa pejabat yang mengawasi kampanye serangan udara mulai percaya bahwa gugus tugas khusus itu secara sistematis menghindari pengamanan yang dibuat untuk membatasi kematian warga sipil.

Proses itu seharusnya berjalan melalui beberapa checks and balances.

Drone dengan kamera definisi tinggi mempelajari target potensial, terkadang selama berhari-hari atau berminggu-minggu.

Analis meneliti data intelijen untuk membedakan kombatan dari warga sipil. Dan pengacara militer dikerahkan dengan tim pengebom untuk memastikan pembidikan mematuhi hukum konflik bersenjata.

Tapi ada cara cepat dan mudah untuk melewatkan sebagian besar aturan dan koridor ketat itu, yaitu mengklaim adanya bahaya yang akan segera terjadi.

Hukum konflik bersenjata, buku aturan yang menjabarkan perilaku hukum militer dalam perang, memungkinkan pasukan dalam situasi yang mengancam jiwa untuk menghindari birokrasi tim hukum, analis dan birokrasi lainnya, dan meminta serangan langsung dari pesawat di bawah apa yang disebut peraturan militer sebagai "hak bawaan untuk membela diri".

Satuan Tugas 9 biasanya hanya memainkan peran penasehat di Suriah, dan tentaranya biasanya berada jauh di belakang garis depan.

Meski begitu, pada akhir 2018, sekitar 80 persen dari semua serangan udara diklaim sebagai pembelaan diri.

Aturan tersebut memungkinkan pasukan Amerika Serikat dan sekutu lokalnya untuk menggunakan alasan itu ketika menghadapi tidak hanya tembakan musuh langsung, tetapi siapa pun yang menunjukkan "niat bermusuhan". Di situ potensi bahayanya bagi warga sipil.

Di bawah definisi itu, sesuatu yang biasa seperti mobil yang melaju bermil-mil dari pasukan, dalam beberapa kasus dapat menjadi sasaran bom, karena satuan tugas khusus itu menafsirkan aturan secara luas.




Sumber : Kompas TV/Straits Times via New York Times


BERITA LAINNYA



Close Ads x