Kompas TV cerita ramadan risalah

KH Zainul Arifin Pohan, Ulama Pelindung Bung Karno yang Ditembak waktu Salat

Kompas.tv - 27 April 2022, 14:31 WIB
kh-zainul-arifin-pohan-ulama-pelindung-bung-karno-yang-ditembak-waktu-salat
Sosok KH Zainul Arifin Pohan, seorang ulama dan kiai yang melindungi Bung Karno dari pembunuhan. (Sumber: NU Online)
Penulis : Dedik Priyanto | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV – Barangkali jika tidak karena KH Zainul Arifin Pohan, sejarah Indonesia akan mencatat hal ini: Bung Karno, pemimpin besar Revolusi, wafat tertembak saat ibadah salat Iduladha, pada rakaat kedua.  

Fakta sejarah terjadi sebaliknya. Bung Karno aman-aman saja, tetapi sosok di sampingnya dan menjadi perisai dirinya terluka terkena tembakan. Peristiwa terjadi pada sebuah pagi 14 Mei tahun 1962.

Tembakan yang diarahkan ke Bung Karno, menyasar ke tubuh KH Zainul Arifin, seorang ulama, pejuang dan panglima Laskar Hizbullah.

Cucu KH Zainul Arifin, Ario Helmi, di situs resmi NU, mengisahkan peristiwa berdarah itu. 

Saat itu, ulama asal Barus tersebut sengaja memosisikan diri di samping kiri Bung Karno untuk mengantisipasi segala hal. Samping kanan Bung Karno adalah Jenderal Abdul Haris Nasution.

Dikisahkan, keheningan khusyuk berlangsung khidmat, melingkupi umat saat memuji Sang Maha Agung dalam rukuk mereka pada rakaat kedua Iduladha tersebut.

"Sami'allahu liman hamidah (Aku mendengar orang yang memuji-Nya)," ucap imam KH Idham Chalid, yang jadi imam saat itu.  

Belum sempat jamaah menyahuti seruan imam, dari barisan ketiga jamaah bagian kiri, tiba-tiba pecah teriakan lantang seorang jamaah, "Allahu Akbar...!", seraya tangannya mengacungkan pistol yang diambil dari betis kanannya.

Ia adalah seorang sniper alias penembak jitu. Mestinya, sasaran tembaknya tidak bakal luput dari muntahan pelurunya: menuju Bung Karno. Namun, anggota pengawal presiden berhasil menepiskan tangan orang itu dan berpindah.

"Dor...!"  

Orang-orang, termasuk imam, bertiarap. Lalu, suasana pun berubah kacau balau.

KH Zainul Arifin tersungkur. Tubuhnya lunglai rebah di atas sajadah.

Bahu kirinya terasa basah. Ketika dia mencoba meraba bagian tubuhnya yang terasa hangat, didapatinya simpul dasinya sampai terputus. Darah segar merembesi kemeja putih hingga ke jas luarnya. Sedikit lagi peluru bisa mengenai jantungnya.

"Saya kena...," ucap tokoh NU tersebut pasrah, di antara kekacauan di sekelilingnya.

"La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim... (Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung...)," ucapnya.

Bung Karno selamat, KH Zainul Arifin Pohan dilarikan ke rumah sakit. Setelahnya, ia pun sakit-sakitan dan berpulang 10 bulan kemudian.

Rosihan Anwar, aktivis dan jurnalis senior, dalam bukunya Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965 mengisahkan peristiwa itu.

“Percobaan pembunuhan dilakukan para rakaat kedua dengan tembakan pistol beberapa kali dari jarak kurang lebih 5-6 meter,” tulisnya di halaman 14.

Dikisahkan oleh Rosihan Anwar, Bung Karno tidak mengalami cedera apa-apa. Percobaan itu dilakukan orang-orang DI/TII yang mendapat tugas dari Kartosuwiryo.

Bung Karno memang tak kurang suatu apa. Namun, orang yang melindungi dirinya, yakni KH Zainul Arifin, harus meregang nyawa.

Baca Juga: Jejak dan Pengaruh Mohammad Natsir: Ulama, Pejuang dan Tokoh Masyumi

Jejak KH Zainul Arifin Pohan

Ulama ini lahir pada 2 September 1909 dari Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ia putra tunggal dari pasangan keturunan Raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan.

KH. Zainul Arifin Pohan menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di madrasah di surau dan menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat.

Arifin muda juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal Melayu, Stambul Bangsawan, sebagai penyanyi dan pemain biola.

Pada usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia. Di kota ini, aktivisme dan pemikirannya mendapatkan tempat.

Lantas, berbekas ijazah HIS, Zainul Arifin bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai Perusahaan Air Minum (PAM) di Jakarta Pusat. Ia juga mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis atau Jatinegara. Di sinilah jejaknya sebagai ulama dan pejuang bermula.

Dari Gerakan Pemuda Ansor, Jadi Laskar Hizbullah 

Panggilan ulama ini adalah Zainul Arifin atau Kiai Zainul Arifin yang juga menjadi salah satu anggota yang tergabung dalam sayap organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda (GP) Ansor.

Selama menjadi anggota GP Ansor, KH Zainul Arifin Pohan meningkatkan pengetahuan agama dan keterampilan berdakwahnya. 

Ia menjadi seorang dai muda yang banyak dibicarakan. Gaya bicara, pidato dan pengetahuannya luas hingga menarik para ulama besar di NU. Zainul Arifin pun dipercaya untuk menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara. Lantas, jadi Ketua Majelis Konsul NU Batavia sampai tentara Jepang datang pada 1942 hingga jadi Panglima Hizbullah yang dibentuk Masyumi. 

Setelah proklamasi, Zainul bertugas mewakili Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR. Selain mengikuti BP-KNIP, Zainul juga masih aktif memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. 

Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Belanda berhasil menguasai Yogyakarta. Pada saat darurat tersebut, BP-KNIP tidak dapat berfungsi, sehinggal Zainul bergabung sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). 

Setelah revolusi, ia sempat aktif dalam pemerintahan bersama Bung Karno, sosok yang ia kagumi. Ia bahkan diangkat menjadi wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).

Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga itu dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Jejak Akhir Sang Pelindung Bung Besar

Jejak politiknya panjang membentang, sepanjang hidupnya dalam membela negeri dan jadi ulama yang disegani.

Pada pada 2 Maret 1962, KH Zainul Arifin Pohan pun berpulang. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 35/tahun 1963 tanggal 4 Maret 1963.

'Sang Perisai' Bung Karno itu berpulang. Salah satu tokoh terbaik negeri ini, ulama dan kiai yang begitu disegani.

 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x