Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Untung Rugi Kendaraan Listrik di Indonesia, Hemat Energi hingga Ancaman Pejalan Kaki

Kompas.tv - 16 Desember 2022, 08:41 WIB
untung-rugi-kendaraan-listrik-di-indonesia-hemat-energi-hingga-ancaman-pejalan-kaki
Motor listrik Polytron. Tahun depan, pemerintah berencana untuk memberikan subsidi pembelian motor listrik. Rencana itu pun menuai perdebatan publik. (Sumber: Kompas.com )
Penulis : Dina Karina | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Rencana pemerintah mensubsidi pembelian mobil dan motor listrik menuai kontroversi di masyarakat. Banyak yang menilai kebijakan itu tidak tepat, karena akan mendorong penggunaan kendaraan pribadi dibanding angkutan umum.

Pihak yang kontra juga menilai, dana subsidi sebaiknya digunakan pada hal yang lebih bermanfaat untuk masyarakat luas. Tapi ada juga yang setuju dengan rencana itu, salah satunya dari kalangan pengusaha.

Ketua Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan mengatakan, subsidi kendaraan listrik bisa membantu masyarakat membeli mobil dan motor listrik yang harganya saat ini masih mahal.

"Suka tidak suka begitu. Di mana-mana memang begitu karena mobil listrik dan motor listrik ini masih mahal, makanya perlu subsidi," kata Johnny saat dihubungi Kompas TV, Jumat (16/12/2022).

Johnny menjelaskan, dari sisi produsen, investor tidak akan mau memproduksi kendaraan listrik di Indonesia jika permintaannya rendah. Subsidi yang dikucurkan pemerintah itulah yang akan mendongkrak permintaan mobil dan motor listrik.

Seperti yang dikatakan Menperin Agus Gumiwang sebelumnya, subsidi ini sebagai bentuk "paksaan" terhadap investor agar segera merealisasikan produksi mobil dan motor listrik di Indonesia.

Baca Juga: Sri Mulyani: Insentif Motor-Mobil Listrik Masuk APBN 2023, Tapi Masih Dibahas Lagi

"(Subsidi) ini kan hanya membantu sampai akhirnya dapat volume besar. Kalau enggak, siapa mau produksi kalau permintaan kecil, nanti harganya tinggi," ujar Johnny.

Rencananya, pembelian mobil listrik baru akan disubsidi Rp80 juta, mobil listrik konversi Rp40 juta, motor listrik baru Rp8 juta, dan motor listrik konversi Rp4 juta. Menurut Johnny, jumlah itu sudah cukup agar harga jual kendaraan listrik bisa bersaing dengan kendaraan konvensional.

Meski pemerintah berkaca dari Thailand dan Vietnam dalam pemberian susbsidi, Johnny menyebut ada negara lain yang mensubsidi kendaraan listrik dengan jumlah yang lebih besar.

"Kalau untuk Indonesia itu cukuplah, ya mestinya sih ini bisa jadi bersaing dengan motor konvensional," ucap mantan Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor itu.

"Itu pasti sudah dihitung dan enggak bisa dibandingkan dengan negara lain karena ada negara yang lebih berani (dari Indonesia)," ucapnya.

Banyak yang menilai subsidi mobil dan motor listrik hanya akan membebani keuangan negara. Namun menurut Johnny, subsidi tersebut bisa dicabut jika pasar dan permintaannya sudah bagus.

"Nanti kalau populasinya sudah banyak kemungkinan dicabut subsidinya," ujarnya.

Baca Juga: Wacana Subsidi Motor Listrik Untuk Ojol, MTI: Salah Sasaran

Penggunaan mobil dan motor listrik adalah hal baru bagi masyarakat Indonesia, yang selama puluhan tahun terbiasa menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak. Sehingga pasti perlu waktu yang tidak sebentar, untuk penetrasi produk tersebut ke masyarakat.

Salah satu faktornya, masyarakat belum banyak mengetahui tentang plus minus kendaraan listrik. Pemimpin Redaksi Otomotif Raden Panji Maulana menilai, konsumen mobil dan motor listrik di RI punya karakter yang berbeda.

Ia menerangkan, konsumen mobil listrik sudah mulai terbentuk dan percaya akan produk mobil listrik di Indonesia. Lantaran, produknya dikeluarkan oleh brand otomotif terkenal/dikenal lama di tanah air bahkan d iluar negeri.

"Semisal Toyota, Nissan, Hyundai atau Wuling. Konsumen percaya dengan brand-brand itu meskipun Wuling brand baru di Indonesia dan asal China," kata Panji dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas TV, Kamis (15/12/2022).

Kondisi itu agak berbeda dengan motor listrik, yang menurut Panji penjualannya tidak sesukses mobil listrik. Meksipun saat ini banyak sekali merek-merek motor listrik baru bermunculan.

"Tapi masalahnya, apakah konsumen mau pada beli? Kayaknya mereka masih pusing untuk memilih, mana yang motornya bagus, mana yang after sales service- nya bagus, gimana garansinya, dsb. Dan yang juga masih jadi masalah yakni soal harga yang relatif masih mahal (saat ini) karena harga baterai menyumbang 40% harga motornya," ungkap Panji.

Baca Juga: Siap-Siap! Beli Mobil Listrik akan Dapat Insentif Rp80 Juta dan Motor Listrik Rp8 Juta

Ia menambahkan, sebaiknya pemerintah saat ini memperbanyak Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Dua fasilitas itu sangat dibutuhkan oleh pemilik kendaraan listrik.

"Karena gimana orang mau beli kalau tidak ada chargernya atau swab baterainya kan. Kecuali bisa dicas di rumah. Itupun kalau daya listrik di rumah cukup. Maklum pasar motor terbesar adalah masyarakat menengah bawah loh," tuturnya.

Sebagai informasi, saat ini pemerintah sudah menyediakan 961 SPBKLU dan 439 SPKLU. Jumlah itu tentu masih kurang jika pemerintah ingin semakin banyak masyarakat yang mengendarai motor dan mobil listrik. Targetnya, ada lebih dari 196.000 SPBKLU dan 48.000 SPKLU di tahun 2030.

Panji memaparkan, kendaraan listrik memang lebih ramah lingkungan dibanding kendaraan konvensional. Terutama dari emisi gas buang yang lebih rendah dari kendaraan yang pakai BBM.

Pengguna kendaraan listrik juga akan lebih hemat dalam mengeluarkan uang untuk mengisi baterai, dibanding untuk membeli bensin. Di sisi lain, harga mobil listrik masih lebih mahal dari mobil konvensional.

"MInusnya masih mahal buat masyarakat Indonesia yang umumnya beli mobil baru di harga Rp300 juta ke bawah. Sementara harga mobil full listrik (EV) di atas Rp500 jutaan. Makanya sebagian besar pemilik mobil EV adalah sebagai mobil kedua, ketiga dan seterusnya. Bukan mobil utama," ujarnya.

Baca Juga: Catat! Ini Jenis Kendaraan yang Dilarang Masuk Tol Selama Nataru dan Jadwalnya

Minimnya pengetahuan masyarakat soal kendaraan listrik juga memunculkan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Misalnya, sebagian masyarakat percaya ada potensi pengendara motor listrik "kesetrum" mengendarainya. Namun Panji menilai, produsen kendaraan listrik pasti sudah punya standar keamanan.

"Enggak lah. Insinyur-insinyur Jepang, Eropa, China sudah mempelajari dan mengantisipasi hal itu," sebutnya.

Ancaman Pejalan Kaki karena Tak Bersuara

Ada juga kekhawatiran keselamatan pengguna jalan lain, terutama pejalan kaki, karena kendaraan listrik tidak bersuara seperti jenis kendaraan lainnya.

"Soal enggak ada suara di motor memang agak ngeri sih, apalagi pengendara motor di sini kan lebih agresif alias ugal-ugalan ya. Tapi sepertinya Kementerian Perhubungan sedang membuat undang-undangnya mengenai suara itu. Kayaknya akan dipakai suara dari speaker deh, seperti di China," kata Panji.

Kemenhub memang sudah membuat aturan terkait suara mobil listrik. Yaitu Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Pengujian Tipe Fisik Kendaraan Bermotor Dengan Tenaga Penggerak Menggunakan Motor Listrik.

Pada Pasal 32 ayat 6 aturan tersebut, dijelaskan bahwa frekuensi tertinggi pada kendaraan listrik adalah 75 desibel. Namun itu baru berlaku untuk mobil listrik. Aturan yang diundangkan pada 16 Juni 2020 tersebut tidak menyebut rinci soal suara motor listrik. Kemudian apakah perlu memakai suara buatan agar terdengar seperti motor bensin.

Baca Juga: Nataru, Naik Kapal ke Sumatera dan Bali Tak Bisa Beli Tiket di Pelabuhan, Harus Online di Ferizy

Direktur Sarana Transportasi Darat Kemenhub Danto Restyawan mengatakan, penggunaan suara pada motor listrik memang belum diatur dalam undang-undang. Namun, Kemenhub akan meninjau kembali aturan tersebut dibutuhkan atau tidak demi keselamatan.

“Saya akan meninjau kembali aturannya karena memang ini untuk keselamatan. Untuk saat ini motor-motor listrik yang ada tidak ada suara dan itu lebih kepada pilihan pribadi,” ujar Danto kepada wartawan beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari Kompas.com.

“Sepengetahuan kami hingga saat ini, kendaraan listrik itu memang tidak ada suaranya. Memang harusnya pakai suara ya, demi keselamatan. Nanti kami akan tinjau ulang aturannya,” ujarnya.

Saat ini belum ada kasus kecelakaan fatal yang melibatkan kendaraan listrik. Namun jika tren percepatan kendaraan listrik berhasil dan makin banyak mobil serta motor listrik di jalan dan mulai meresahkan, aturan seperti ini dibutuhkan.




Sumber : Kompas TV, Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x