Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Rumah Tangga Miskin RI Tak Mampu Beli Makanan Bergizi, Uangnya Justru untuk Rokok

Kompas.tv - 13 Desember 2022, 13:27 WIB
rumah-tangga-miskin-ri-tak-mampu-beli-makanan-bergizi-uangnya-justru-untuk-rokok
Pita cukai rokok di rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM). Pemerintah menaikkan cukai rokok untuk menurunkan jumlah perokok anak. Data Kemenkeu menyebut, konsumsi rokok mengalahkan konsumsi makanan bergizi di rumah tangga miskin. (Sumber: Tribunnews.com)
Penulis : Dina Karina | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, rokok merupakan komponen pengeluaran terbesar ke-2 bagi Rumah Tangga (RT) miskin di Indonesia. Hal itu membuat penghasilan rumah tangga miskin yang seharusnya memprioritaskan pemenuhan gizi, justru digunakan untuk membeli rokok.

"Jumlahnya bahkan lebih tinggi dari pengeluaran untuk protein yang lebih dibutuhkan oleh tubuh manusia. Ini menimbulkan suatu dilema, bagaimana agar belanja RT dapat diprioritaskan untuk konsumsi yang lebih bergizi sehingga anak-anak Indonesia bisa tumbuh sehat dan produktif," tulis Sri Mulyani di akun instagram resminya, Senin (12/12/2022).

Oleh karena itu, pemerintah menaikan cukai hasil tembakau (CHT) agar harga rokok semakin tidak terjangkau untuk perokok anak usia 10-18 tahun.


"Kenaikan tarif CHT merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk menurunkan prevalensi merokok, khususnya anak-anak usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7 persen di tahun 2024," tutur Sri Mulyani.

Di sisi lain, pemenuhan gizi rumah tangga miskin juga semakin sulit terpenuhi lantaran harga pangan yang tinggi. Mayoritas warga Indonesia ternyata tidak mampu membeli makanan bergizi seimbang untuk dikonsumsi sehari-hari.

Baca Juga: Mayoritas Orang Indonesia Tak Bisa Beli Makanan Bergizi, Harga Pangan Termahal se-Asia Tenggara

Padahal, asupan gizi menjadi salah satu kunci menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul, untuk mengejar target Indonesia Emas pada 2045. Bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka.

Apalagi, Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2030 karena jumlah penduduk usia muda jauh lebih banyak dari penduduk usia tua. Namun apa yang akan terjadi, jika RI punya banyak anak muda tapi tidak berkualitas akibat kurang gizi? Malah akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan jadi beban masyarakat.

Tim jurnalis data Harian Kompas mengungkapkan, untuk membeli makan bergizi seimbang di Indonesia membutuhkan biaya rata-rata Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan.

Makanan bergizi seimbang  artinya menu dengan porsi seimbang antara makanan pokok (sumber karbohidrat), lauk pauk (sumber protein dan lemak), sayuran dan buah, serta air minum.

Mengutip dari Kompas.id, Jumat (9/12/2022), penghitungan harga itu sudah mengikuti standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO).

Baca Juga: 3 Alasan Menkeu Sri Mulyani Naikkan Harga Rokok Tahun Depan

Jika dibandingkan dengan kemampuan membeli makanan per harinya, maka ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut.

Namun, jika menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi Indonesia (AKG) 2014, jumlah warga Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi pun tidak sebesar angka di atas. Lantaran standar gizi yang digunakan pada AKG lebih rendah dibanding HDB.

Laporan Harian Kompas menyebut, jika mengacu standar gizi AKG 2014, persentase penduduk yang tidak mampu membeli pangan sehat adalah sebesar 57 persen populasi Indonesia atau 155 juta penduduk. Jumlah itu turun dari 68 persen di versi HDB.

Banyaknya orang Indonesia yang tidak mampu membeli makanan bergizi, ternyata disebabkan tingginya harga bahan pangan. Bahkan, harga pangan di Indonesia paling mahal di Asia Tenggara, jika dibanding daya beli masyarakatnya.

Misalnya, harga makanan di Singapura tentu jauh lebih mahal dibanding di Indonesia. Namun masyarakat Singapura mampu membelinya.

Hal itu tercantum dalam laporan Badan Pangan Dunia atau FAO.

Baca Juga: YLKI Sebut Penjualan Rokok Ketengan Perlu Dilarang Imbas Cukai Rokok Naik 10 Persen

"Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,47 dollar AS sekitar Rp 69.000 perhari. Ini lebih tinggi ketimbang antara lain: Thailand (4,3 dollar AS); Filipina (4,1 dollar AS); Vietnam (4 dollar AS) dan Malaysia (3,5 dollar AS)," tulis Harian Kompas dalam laporannya.

Harga makanan jadi lebih mahal lagi untuk masyarakat yang ada di wilayah Indonesia bagian timur. Dengan membandingkan harga komoditas pangan yang dicatat BPS tahun 2021, biaya tertinggi ditemukan di Maluku Utara yang mencapai Rp 26.050 per hari atau Rp 3.924 lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional sebesar Rp 22.126.

Kemudian, dengan mengombinasikan data pengeluaran penduduk dari BPS, ada 80 persen jumlah penduduk Maluku Utara yang tidak mampu membeli pangan bergizi. Angka itu merupakan yang tertinggi kedua  di seluruh Indonesia.

Di mana posisi pertama adalah Nusa Tenggara Timur, dengan 86 persen atau 4,8 dari 5,5 juta penduduknya tak mampu beli makanan bergizi. Biaya pangan bergizi di NTT juga di atas rata-rata nasional, dengan angka Rp 23.126 per hari, karena mahalnya harga makanan.

Menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah, disparitas harga yang besar antara Jawa dan luar Jawa diakibatkan karena sistem distribusi rantai pasok yang belum mapan.

Baca Juga: Siap-siap! Tiket KRL Commuter Line Akan Naik Tahun Depan

Rantai pasok yang tertata dengan baik akan dapat mengurangi dampak produksi pangan Indonesia yang tidak merata di seluruh wilayah dan mengakibatkan harga berfluktuasi. Akses masyarakat terhadap komoditas pangan tertentu pun menjadi tidak terbatas.

"Apakah kita punya peta jalan rantai pasok pangan nasional? Tanpa itu, kami agak menyangsikan kondisi ini bakal berubah," kata Said.
 




Sumber : Kompas.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x