Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

JATAM: Keterlibatan Polisi dalam Pusaran Tambang Ilegal, dari Pengawal hingga Pemodal

Kompas.tv - 7 November 2022, 10:59 WIB
jatam-keterlibatan-polisi-dalam-pusaran-tambang-ilegal-dari-pengawal-hingga-pemodal
Seorang warga melihat kerusakan lingkungan akibat masifnya tambang ilegal dalam kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Batanghari, Jambi, Senin (5/4/2021). Dalam kawasan itu masih ditemukan lebih dari 1.000 sumur ilegal. (Sumber: Kompas.id/Irma Tambunan )
Penulis : Dina Karina | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap peran keterlibatan polisi aktif dalam operasi tambang ilegal. Mulai dari mengawal jalannya kegiatan penambangan, hingga memodali operasional tambang. 

Keterlibatan polisi pada kegiatan tambang ilegal juga banyak dilakukan saat mereka sudah purna tugas. Hal itu diungkapkan Koordinator JATAM Melky Nahar dalam diskusi bertajuk "Mengungkap Persekongkolan Geng Tambang di Polisi dengan Oligarki Tambang", beberapa waktu lalu. 

"Ada (oknum polisi) yang justru terlibat secara langsung dalam bisnis tambang itu sendiri. Entah itu dia masih aktif menjabat apalagi kalau dia sudah purna tugas," kata Melky seperti dikutip dari Tribunnews.com, Senin (7/11/2022). 

"Jadi polisi aktif juga kemudian diduga terlibat secara langsung di bisnis tambang ini. Jadi dia memodali kira-kira begitu bagi operasi tambang terutama yang ilegal," tambahnya. 

Melky mengungkap keterlibatan beberapa aparat itu terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Baca Juga: Isu Setoran Tambang Ilegal untuk Kabareskrim, Mahfud MD Sebut Perang Bintang Petinggi Polri

"Ada yang di Kalimantan Utara, ada yang di Kalimantan Timur, ada yang di Kalimantan Selatan, ada yang di Bangka Belitung. Jangan lupa ada yang di Pulau Buru Maluku, ada yang di Papua," ujar Melky. 

Mengutip laman resmi JATAM, hingga Juli 2022  Kementerian ESDM mencatat ada 2.700 tambang ilegal di Indonesia.  Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi adalah pertambangan batubara. 

Di satu sisi, pemerintah memang sering menyebut akan menindak tambang ilegal yang berdampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun JATAM menilai, penegakan hukum yang dilakukan seringnya berkutat dengan urusan administratif dan sarat bias kepentingan.

Contoh bias kepentingan ini, tercermin dari banyak kasus tambang di Indonesia, antara lain di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, Pasar Seluma, Bengkulu, Buli dan Maba di Halmahera Timur, dan Sagea dan Kiya di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

"Di Pulau Sangihe, misalnya, operasi tambang emas ilegal yang menggunakan alat berat di Tanah Merah, Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah tampak dibiarkan, tanpa penegakan hukum. Polisi justru sibuk mengawal mobilisasi alat berat PT Tambang Mas Sangihe yang, secara hukum sudah ilegal pasca Izin Lingkungan dibatalkan PTUN Manado," demikian tertulis dalam laporan JATAM, dikutip Senin (7/11/2022). 

Baca Juga: Misteri Buku Hitam Ferdy Sambo, Kompolnas Sebut Hal Biasa, IPW Terawang soal Tambang di Kaltim

"Bahkan, sebanyak 15 warga penolak tambang PT TMS justru dikriminalisasi. Satu di antaranya atas nama Robison Saul yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Kepulauan Sangihe," lanjut JATAM. 

Hal serupa juga terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP/Harita Group) yang telah enam kali menerobos lahan milik warga di Desa Sukarela Jaya dibiarkan tanpa penegakan hukum. 

Lahan-lahan yang diterobos itu tidak pernah diserahkan warga kepada PT GKP, juga tidak menjadi bagian dari konsesi tambang perusahaan. Parahnya, warga penolak tambang yang mempertahankan tanahnya justru diintimidasi, 30 orang dikriminalisasi.

Demikian juga di Desa Pasar Seluma, Bengkulu. Keberadaan PT Faminglevto Bakti Abadi yang ilegal, akibat secara administratif belum terpenuhi, juga tak pernah diproses hukum. Sebaliknya, warga yang menentang operasi perusahaan itu justru diintimidasi, delapan orang warga yang melakukan aksi bahkan sempat ditangkap oleh polisi.

Laporan JATAM juga menyebutkan kejadian serupa ada di Buli dan Maba, Halmahera Timur. Di wilayah tersebut, operasi PT ANTAM yang menyebabkan pencemaran kawasan pesisir dan laut dan berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan, tak pernah diproses hukum. 

Baca Juga: Pengamat Kepolisian soal Dana Tambang Ilegal ke Kabareskrim: Usut, Jangan Dibiarkan

Lalu di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, operasi PT First Pacific Mining dan PT Zhong Hai Rare Metals Mining mencemari Talaga Sagea atau Danau Legaelol. Kini, pemerintah justru memberikan karpet merah bagi perusahaan ini untuk membangun smelter nikel dan menambang di kawasan karst dan hutan Sagea yang kaya akan sumber mata air dan keanekaragaman hayati serta satwa endemik.

"Kuat kesan pemerintah dan polisi cepat memproses tuntutan dari perusahaan besar yang aktivitasnya merusak ruang hidup warga dan lambat memproses tuntutan warga yang mempertahankan ruang hidup mereka," sebut JATAM. 

Selain terjadi bias kepentingan dalam penegakan hukum terhadap penambang ilegal dan korporasi (legal), pemerintah dan institusi Polri juga mesti membersihkan tubuhnya sendiri dari praktik mafia pertambangan. 

Di tubuh Polri sendiri, selain cenderung berpihak kepada korporasi dalam menekan resistensi warga, dugaan aparat kepolisian bermain di balik maraknya tambang ilegal juga santer terdengar.

Baca Juga: Ditegur Mahfud, 7 Channel TV Akhirnya Hentikan Siaran Analog, Mayoritas Punya MNC Group

Sebagian contoh keterlibatan aparat kepolisian dalam sektor pertambangan itu, bisa terlihat dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara, atau anggota polisi yang diduga berada di balik penambangan pasir timah di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka, serta kasus anggota polisi yang diduga bermain tambang ilegal di Sungai Walanae, Kebo, Lilirilau, Soppeng, Sulsel.

Sudah menjadi rahasia umum, aparat keamanan juga banyak terlibat di tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

"Dengan demikian, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan institusi Polri itu sudah seharusnya menyasar akar persoalan, yakni kejahatan korporasi tambang legal dan ilegal, berikut sanksi yang diberikan tidak sebatas pada aspek administratif, tetapi pidana kejahatan lingkungan," tegas JATAM.



Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x