Kompas TV bisnis kebijakan

Pengusaha Tambang dan Sektor Keuangan yang Paling Diuntungkan Tax Amnesty Jilid II

Kompas.tv - 30 September 2021, 22:52 WIB
pengusaha-tambang-dan-sektor-keuangan-yang-paling-diuntungkan-tax-amnesty-jilid-ii
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Komisi XI DPR menyetujui RUU KUP, Rabu (29/9/2021) (Sumber: Twitter Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo, @prastow)
Penulis : Dina Karina | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV - Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) akan segera disahkan DPR dalam rapat paripurna. Salah satu poin dalam RUU KUP adalah pemberlakuan Tax Amnesty Jilid II.

Setelah disahkan nanti, RUU KUP akan bernama RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP.

Dalam Draf RUU KUP, disebutkan program pengampunan pajak bagi konglomerat yang menyembunyikan asetnya itu, akan dimulai pada 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, Tax Amnesty Jilid II merupakan sebuah kesalahan fatal yang diakomodir ke dalam RUU HPP.

Menurut Bhima, Tax Amnesty Jilid II tidak akan berhasil mendorong kepatuhan pajak. Yang terjadi justru ada penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang.

Baca Juga: Blak-blakan Staf Menkeu Ungkap Wacana Konsep PPN Sembako dalam Draf RUU KUP

"Kalau ada Tax Amnesty Jilid II, kenapa tidak mungkin ada Tax Amnesty Jilid III? Akibatnya tax amnesty akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak," kata Bhima saat dihubungi Kompas TV, Kamis (30/9/2021).

Selain itu, di dalam RUU HPP juga tidak menjelaskan mekanisme screening harta para wajib pajak yang ikut tax amnesty. Misalnya melalui penugasan kepada PPATK.

Bhima mengatakan, selama tidak ada screening dan pengawasan, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil money laundry (pencucian uang), hasil kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara.

"Justru Tax Amnesty Jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antarnegara. Merasa dapat pengampunan maka tidak perlu ada konsekuensi hukumnya," ujar Bhima.

Bhima merujuk pada Pasal 6 ayat 6 dalam RUU HPP yang menyebutkan, "Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak."

Baca Juga: RUU KUP Disahkan, Stafsus Sri Mulyani Bilang Sembako dan Sekolah Bebas PPN

Bhima pun membuat perbandingan tarif Tax Amnesty Jilid I dengan Jilid II sebagai berikut:

Tarif Tax Amnesty Jilid I

Harta yang berada di dalam negeri atau luar negeri diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun:

  • Bulan pertama hingga ketiga, tarif: 2 persen.
  • Bulan keempat hingga 31 Desember 2016, tarif: 3 persen
  • 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017, tarif: 5 persen

Harta di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam negeri:

  • Bulan pertama hingga ketiga, tarif: 4 persen
  • Bulan keempat hingga 31 Desember 2016, tarif: 6 persen
  • 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017, tarif: 10 persen

Tax Amnesty Jilid II

  • Harta yang berada di dalam negeri diinvestasikan ke sektor SDA atau SBN: 6 persen
  • Harta yang berada di dalam negeri tidak diinvestasikan ke SDA atau SBN: 8 persen
  • Harta yang berada di luar negeri diinvestasikan ke sektor SDA atau SBN: 6 persen
  • Harta yang berada di dalam negeri tidak diinvestasikan ke sektor SDA atau SBN: 8 persen
  • Harta di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam negeri: 11 persen

"Secara tarif pajak /tebusan memang lebih tinggi dibandingkan Tax Amnesty Jilid I, tapi tidak signifikan. Artinya, pengemplang pajak tetap akan manfaatkan Tax Amnesty Jilid II ini karena biaya pengampunan nya masih dianggap rendah," tutur Bhima.

Baca Juga: Tolak Tax Amnesty Jilid II, Pengusaha: Negara Lain Pendapatannya Juga Ancur-ancuran

Terkait evaluasi Tax Amnesty Jilid I, ternyata tidak ada korelasi antara pengampunan pajak terhadap naiknya tax ratio jangka panjang. Pada tahun 2017 rasio pajak tercatat 9,9 persen, kemudian setelah tax amnesty hingga 2020 tax ratio turun ke 8,3 persen.

"Kalau ada yang janji pasca tax amnesty akan terjadi konsistensi kenaikan rasio pajak faktanya tidak demikian. Tax amnesty hanya membantu dalam 1 tahun fiskal saja, sangat temporer," tambahnya.

Hal itu bisa terjadi, lantaran tindak lanjut terhadap data pajak tax amnesty ternyata tidak dilakukan secara serius. Justru tax amnesty menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk terus lakukan penghindaran pajak.

"Siapa yang diuntungkan dengan TA? Dilihat dari sektor nya adalah pengolahan SDA, misalnya mau masuk ke smelter nikel itu diuntungkan sekali dengan TA jilid II," ucap Bhima.

"Karena ada klausul detail dalam pasal 5 ayat 7 bahwa investasi di sektor pengolahan SDA akan mendapat pajak TA lebih rendah daripada non-SDA," imbuhnya.

Akibatnya, akan ada banjir investasi di pengolahan barang tambang. Kemudian sektor kedua yang berkaitan dengan lembaga keuangan yang mendapat fee dari penerbitan SBN. Karena investasinya didorong beli SBN pemerintah maka pasar surat utang jadi menarik.

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x