Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Gila! Ekonomi China Melesat, di Tengah Pandemi. Kenapa Bisa Begitu Sakti?

Kompas.tv - 19 Oktober 2020, 17:32 WIB
gila-ekonomi-china-melesat-di-tengah-pandemi-kenapa-bisa-begitu-sakti
Presiden China, Xi Jinping. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Dyah Megasari

BEIJING, KOMPASTV. Di masa sulit akibat belitan pandemi corona, ekonomi China di kuartal tiga (Juli-September), naik 4,9 persen secara tahunan. Realisasi ini tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal dua yaitu 3,2 persen.

China, lagi-lagi membuktikan diri sebagai negara adidaya yang punya taring ekonomi di dunia. Tak masalah meski realisasi ini lebih rendah dari hitungan awal di angka 5,2 persen. Sebab, sampai detik ini, pertumbuhan ekonomi China, masih paling tinggi di dunia.

Pada periode ini, sektor industri naik 5,8 persen, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya di 4,4 persen. Sektor jasa juga ikut ngebut, yaitu 4,3 persen dibandingkan kuartal sebelumnya 1,9 persen.

Yang menakjubkan, penjualan ritel meningkat 0,9 persen, sedangkan tingkat pengangguran turun ke 5,4 persen pada September dari posisi Agustus sebanyak 5,6 persen.

"Sejauh ini bisa kami katakan bahwa konsumsi mulai merambat naik dari keterpurukan saat pandemi. Pemulihan ekonomi sudah dimulai bahkan menunjukkan sinyal kelanjutan di kuartal empat" beber Liu Aihua, juru bicara Biro Statistik Nasional Tiongkok.

Lockdown Terbukti Tak Bunuh Ekonomi

Kebangkitan ekonomi China dalam kurun waktu kurang dari satu tahun dihajar corona, seharusnya jadi pelajaran berharga dan patut dilongok oleh banyak negara. Terutama negara dengan pemimpin yang abai atau cenderung pongah di awal pandemi. Di abad ini, China adalah negara pertama yang melakukan lockdown alias isolasi wilayah akibat virus.

Apa hubungan lockdown dan pertumbuhan ekonomi? Respons cepat, seperti karantina wilayah terbukti, tidak hanya menyelamatkan miliaran warga China, melainkan juga menjadi vaksin ampuh pencegah keterpurukan ekonomi. Semakin sedikit warga yang terinfeksi, kian lebih cepat ekonomi beremedi (sembuh dari sakit).

Di depan kader Partai Komunis China pada Januari 2019, Presiden Xi Jinping mengingatkan agar masyarakat bersiap menghadapi black swans atau kejadian tak terduga. Sebuah kalimat yang mungkin menebar ketakutan, tetapi sebenarnya peringatan dini langkah antisipasi. Saat akhir 2019 di Provinsi Wuhan muncul virus corona tipe baru, ucapan Xi jinping terasa relevan, akurat, dan tidak mengada-ada.

Di bulan yang sama, otoritas China memutuskan bahwa kota Wuhan harus diisolasi sekitar 3 bulan. Wuhan adalah episentrum pertama penularan corona di China.

Tentu tak ada yang mengira Covid-19 kini menjadi pandemi global. Awal Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut pandemi virus corana melewati tragic milestone karena telah menewaskan lebih dari 5.000 orang di seluruh dunia dan menyebar ke 144 negara.

Flu Spanyol 1918 (Sumber: Correia et al)

Bisa jadi, China juga mempelajari secara rinci kejadian luar biasa flu Spanyol di Amerika Serikat, berabad-abad lalu. Seattle, negara bagian Washington, menjadi wilayah yang paling ketat melakukan pembatasan aktivitas warganya, akibat wabah Flu Spanyol.

Terbukti, ekonomi Seattle justru bangkit lebih cepat karena menelan korban lebih minimal. Seattle melaju, meninggalkan New York, New Orleans dan beberapa daerah sekitar yang melonggarkan aktivitas sosial, tetapi dengan jumlah korban terbanyak.

Memang lockdown Wuhan tidak sepenuhnya tentang hasil akhir yang manis, banyak cerita pilu yang terjadi. Pelajarannya adalah, asumsi pertumbuhan ekonomi sebuah negara, bahkan berskala global, harus menghitung risiko lingkungan, seperti pandemi.

“Pada masa depan, selain risiko ekonomi dan keuangan, risiko lingkungan harus mulai dielaborasi dalam membuat kalkulasi ekonomi ataupun perencanaan bisnis. Faktor lingkungan tak lagi bisa ditinggalkan, apalagi diabaikan, demi mengejar target pertumbuhan. Kini risiko lingkungan telah mengoreksi siklus pertumbuhan yang bisa jadi telah banyak menimbulkan efek eksternalitas yang membebani lingkungan selama ini,” jelas Rektor Universitas Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko.

Bukan Kisah Roro Jonggrang

Membangun ribuan candi hanya dalam waktu semalam. Mungkinkah? Kisah ini kita temui di cerita rakyat tentang Roro Jonggrang dan Candi Prambanan. Bagaimana mungkin, candi yang rumit dengan bahan baku batu berat, rampung hanya dengan satu kali kedipan mata, kalau bukan dengan bantuan jin?

Baca Juga: Cek Vaksin Corona, MUI Kirim Utusan ke China

Apakah mungkin, China punya banyak jin, untuk mengatrol ekonomi sekaligus membendung laju penularan covid-19? Jawabannya tentu saja tidak. Negara ini punya rasionalitas mumpuni dan “sense of crisis” yang di atas rata-rata negara lain.

Tak perlu sesumbar janji, atau kompromi. Minggu 11 Oktober 2020, klaster baru infeksi virus corona muncul di Kota Qingdao, timur China. Meski mereka yang terinfeksi tidak bergejala (asimptomatik), otoritas setempat memutuskan untuk melakukan tes massal pada 9 juta penduduknya.

Tantangannya terletak pada waktu, yaitu hanya lima hari. Catat saudara, LIMA hari. Perlu strategi andal, karena berpacu dengan matahari terbenam. Otoritas China merespons cepat dengan strategi pengujian massal, meskipun, klaster yang muncul di Qingdao kalau terjadi di Indonesia, hanya “klaster remeh temeh” alias super kecil yaitu 12 kasus baru.

Komisi kesehatan Qindao menegaskan, tracing adalah “koentji”.  Program pengetesan seluruh kota serentak meluncur dan terbagi-bagi menjadi beberapa distrik. Lima distrik dites selama tiga hari, melibatkan ribuan tenaga ahli, pendirian tenda-tenda tes massal dan harus rampung menyeluruh dalam waktu lima hari. Berhasil? Tentu saja, namanya juga China, negara paling tidak pernah menganggap enteng pada kerikil sekalipun.

Hari pertama tes, dilakukan pada 1.107.883 orang. Hari ke-tiga mencapai 5.410.386, kemudian ke-empat tuntas pada 8.884.565 orang secara akumulatif. Sumber klaster baru ditemukan, yaitu dari ruang CT scan RS Qingdao, yang merawat pasien positif corona dari luar negeri.

Tetapi memang pengalaman, kalau tidak dipandang sebelah mata, menjadi juara. Mei, sebenarnya China juga melakukan tes masal di kota Wuhan, episentrum pertama penyebaran corona di akhir 2019. 11 juta warga tuntas dilacak dalam waktu 10 hari dan menghentikan penularan virus secara masif.

Bagaimana dengan Indonesia? Sudah terlanjur basah. Tetap ada harapan untuk perbaikan, agar “gelar juara rekor positif” segera punah dari negeri ini. Aamiin.

(Dyah Megasari, Sumber: Biro Statistik Nasional Tiongkok, BBC, Reuters)




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x