Kompas TV bbc bbc indonesia

Klitih, 'Tradisi' Pertikaian Antar-Pelajar yang Berkembang Jadi Kejahatan Jalanan

Kompas.tv - 9 April 2022, 13:54 WIB
klitih-tradisi-pertikaian-antar-pelajar-yang-berkembang-jadi-kejahatan-jalanan
Aksi lawan klitih pada Januari 2019 yang menunjukkan keprihatinan atas fenomena kejahatan jalanan di Yogyakarta. (Sumber: Antara Foto )
Penulis : Vyara Lestari

Marsel sendiri tidak memahami bagaimana SMA tertentu dikategorikan sebagai "musuh", sedangkan yang lainnya sebagai "kawan". Yang jelas, doktrin mengenai siapa musuh dan siapa lawan terus dicekoki oleh para senior, bahkan alumni dari sekolahnya.

"Ya dipanas-panasin terus, namanya anak muda hasratnya masih menggebu-gebu, ya sudah akhirnya terbentuk mindset bawah itu musuh kita," ujar Marsel.

Pada masa itu, Marsel dan teman-temannya biasanya beraksi pada sore hari dengan menargetkan siswa dari sekolah musuh.

"Lalu ditanya, 'kamu dari SMA mana?' kalau ternyata SMA musuh ya diserang," kata dia.

Namun Marsel menambahkan, mereka memiliki aturan tersendiri untuk tidak menyerang pelajar perempuan atau pelajar yang sedang berpacaran. Mereka tidak akan menyerang orang lain secara acak.

Marsel juga pernah ditangkap polisi. Namun pada saat itu klitih hanya dipandang sebagai bentuk kenakalan remaja, sehingga dia hanya diminta wajib lapor selama seminggu.

Kini Marsel mengaku menyesal atas apa yang dia lakukan semasa SMA. "Penyesalan itu pasti ada, ngapain gitu melakukan itu," kata dia.

Kepada para pelajar yang kini masih aktif menjadi klitih, Marsel berpesan "mending enggak usah, karena enggak ada gunanya. 'Kesenangannya' cuma sementara".

Bahkan bagi dia yang merupakan mantan klitih pun, kondisi di Yogyakarta saat ini sudah "sangat meresahkan".

"Karena ini sudah bukan pertikaian antar-pelajar lagi, sudah acak korbannya. Bepergian jadi resah juga, jadi terbatas terutama kalau malam hari," kata dia.

'Nyilih tangan' hingga indikasi 'bisnis keamanan'

Sosiolog kriminal UGM, Suprapto, mengatakan struktur organisasi klitih telah berkembang.

Dari yang semula terdiri dari pelajar murni yang masih duduk di bangku SMA, kemudian melibatkan para alumni yang ikut mendoktrin dengan dalih "menjaga solidaritas almamater".

Selain itu, "keberanian" para pelajar dalam beraksi juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Salah satunya, menurut Suprapto, oleh organiasi yang "menjual jasa keamanan".

Ketika ditanya siapa kelompok yang dimaksud, Suprapto menuturkan bisa berupa geng kriminal atau para alumni itu sendiri.

Para pelajar juga dimanfaatkan sebagai "tameng" dalam melakukan aksi karena usianya yang masih di bawah umur membuat mereka hanya akan mendapat hukuman ringan apabila tertangkap. Oleh Suprapto, hal ini disebut sebagai "nyilih tangan".

"Bahkan mereka diberi doktrin, dibekali senjata dari yang dulunya batu sekarang mengenal celurit. Itu tidak mungkin dilakukan pelajar atau remaja kalau tidak difasilitasi pihak lain," kata Suprapto.

Dalam kasus yang menimpa Daffa dan Bobi, Suprapto meyakini pelakunya sama-sama kelompok klitih apabila dilihat dari motifnya yang sekadar untuk melukai korban.

Tetapi Suprapto juga meyakini bahwa pelaku klitih tidak memilih korbannya secara acak.

Dalam kasus Daffa, dia yakin bahwa korban telah diidentifikasi sebagai kelompok musuh dan ditargetkan oleh geng klitih yang terdiri dari pelajar murni. Sedangkan dalam kasus Bobi, bisa jadi pelaku "salah sasaran".

'Kalau terus dibiarkan, masyarakat bisa ciptakan hukum rimba sendiri'

Kasus klitih yang terus berulang membuat Bobi resah dan merasa tidak aman bepergian di kota tempat tinggalnya sendiri.

Sebagai orang yang pernah menjadi korban, Bobi menilai para pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal. 16 pelaku yang menyerang Bobi hanya dikenakan wajib lapor. Salah satu alasannya karena Bobi tidak memperkarakan kasus itu lebih lanjut setelah mempertimbangkan kesibukan kuliahnya.

"Tapi aku yakin kalau aku kasuskan pun ujung-ujungnya cuma wajib lapor," kata dia.

Tetapi kali ini Bobi betul-betul berharap aparat keamanan memiliki cara yang lebih efektif untuk memberantas aksi kejahatan jalanan itu sampai ke akar-akarnya.

"Takutnya kalau terus dibiarkan, masyarakat anggap polisi enggak punya power, akhirnya mereka menciptakan hukum rimbanya sendiri," kata Bobi.

Kepala Bidang Humas Polda DIY, AKBP Yulianto, menolak permintaan BBC News Indonesia untuk diwawancara terkait ini. Sedangkan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Ade Ary Syam belum merespons hingga artikel ini ditulis.

Baca juga:

Sementara itu, keresahan masyarakat juga tampak melalui media sosial, di mana topik klitih masih menjadi perbincangan hangat hingga Jumat (08/04). Muncul pula informasi-informasi seputar penangkapan "klitih" oleh warga yang belum seluruhnya terkonfirmasi.

Sosiolog Suprapto mengingatkan masyarakat untuk tidak main hakim sendiri dalam situasi ini, sebab hal itu hanya akan menimbulkan konflik horizontal.

"Andaikata masyarakat sempat menangkap pun lebih baik segera laporkan dan biar aparat berwenang yang menangani," kata dia.

Hanya saja, penegakan hukum yang tidak menimbulkan efek jera ditenggarai sebagai salah satu penyebab terus berulangnya kasus kejahatan jalanan ini. Usia pelaku yang masih anak-anak membuat mereka kerap mendapat hukuman ringan.

"Polisi pun dalam posisi dilema, tapi ada yang menghambat untuk bertindak tegas karena mereka anak-anak, akhirnya diversi [penyelesaian perkara anak di luar pidana]. Tapi ya susah kalau sudah sampai membunuh, masa diversi?" ujar dia.

Tetapi Suprapto menegaskan penanganan kejahatan jalanan tidak bisa hanya bermuara pada penindakan aparat di lapangan. Menurut dia, pihak sekolah dan orang tua harus turut terlibat dalam pencegahan yang terintegrasi.

"Kalau keluarga ikut menjaga, polisi berpatroli dan guru di sekolah juga melakukan pemetaan, saya kira ini bisa mencegah," kata Suprapto.

 






Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x