Kompas TV bbc bbc indonesia

Kesaksian 'Algojo 1965' di Aceh, Lubang Pembantaian, dan Korban yang Dilupakan

Kompas.tv - 21 Januari 2022, 05:50 WIB
kesaksian-algojo-1965-di-aceh-lubang-pembantaian-dan-korban-yang-dilupakan
Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S. (Sumber: Getty Images)
Penulis : Edy A. Putra

Baca juga:

Dia tidak memungkiri saat itu telah beredar luas informasi bahwa anggota PKI itu "anti Tuhan, mengotori masjid, menginjak al-Quran, dan membunuh kiai seperti tahun 1948."

Jamil masih ingat, massa anti komunis saat itu mendatangi kantor PKI dan merusaknya. Mereka juga melempari dengan batu toko-toko milik warga peranakan Tionghoa.

'Beredar daftar nama-nama yang akan dibantai di Simpang Betung'

Di Kota Sigli, kami juga berjumpa Dhian Anna Asmara, wartawan senior, yang berusia 13 tahun ketika kota itu dihantui situasi genting. Kini rambutnya memutih ketika usianya memasuki 70 tahun.

"Saya ikut-ikutan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan melempari kedai-kedai milik warga peranakan China," akunya.

Kepada Jamil dan Dhian, saya kemudian menanyakan sejauh mana pengetahuan mereka tentang pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh PKI di kota itu.

Dhian mengaku tidak mengetahui langsung pembantaian itu, tapi mendengarnya dari orang lain. Dhian sering mendapat 'bocoran' informasi karena salah-seorang temannya anak anggota polisi.

"Ada yang ditangkap polisi dan PM (polisi militer), dinaikkan mobil dan dibawa ke penjara" ujar Dhian. Kebetulan rumah orang tuanya saat itu bersebelahan dengan asrama polisi.

Dia juga ingat saat itu beredar daftar nama-nama yang harus ditangkap.

Beredar pula informasi bahwa sebagian yang ditahan kemudian digelandang ke Simpang Betung di kaki perbukitan Seulawah untuk "digorok lehernya".

Semenjak saat itulah, kawasan tempat lubang-lubang pembantaian itu mendapat predikat "angker", katanya.

Jamil pun mengetahui pembantaian itu dari orang lain. Dia mendengar orang-orang itu ditahan di kantor jaksa atau polisi. "Habis itu, ada yang dipulangkan dan ada yang tidak pulang."

Puluhan tahun kemudian, Jamil tidak bisa melupakan ketika orang-orang yang disebutnya "tidak bersalah" ikut dibantai. "Ini yang saya sesalkan," katanya.

"Kalau kader [PKI], ya terserahlah, itu kan risiko dia. Tapi kalau orang yang tak bersalah, lalu dibantai, itu yang disesalkan," tambahnya. Mereka hanyalah korban fitnah, tandas Jamil.


Kisah dua aktivis buruh kereta api di Sigli yang dipecat gara-gara G30S

Tidak sedikit aktivis buruh kereta api di Aceh yang mati dibunuh atau dipecat dari pekerjaannya akibat huru-hara politik 1965.

Sebelum prahara G30S, sebagian pimpinan dan pegawai menengah atau buruh kereta api di wilayah itu bergabung ke organisasi buruh yang berafiliasi ke PKI.

Ketika pilihan politik itu dijatuhkan, mereka barangkali tidak terpikir bahwa hal itu kelak menghancurkan hidupnya dan dampaknya dirasakan hingga anak dan cucunya sekarang.

Sebutlah, bekas pegawai kereta api dan nantinya menjadi politikus jempolan PKI di Aceh, Thaib Adamy, misalnya, ajalnya berakhir di hadapan algojo yang menembaknya.

Tidak semua berujung kepada kematian, memang. Ada beberapa kasus mereka dipecat dari pekerjaannya akibat dikaitkan dengan PKI.

Di Kota Sigli, Aceh Timur, kami mewawancarai dua orang bekas buruh kereta api yang hidupnya sempat terpuruk akibat dipecat dari pekerjaannya.

Tindakan itu diambil atasannya, karena mereka dianggap terkait peristiwa G30S 1965, walaupun keduanya berkukuh tuduhan itu sama-sekali tidak benar. Berikut kisahnya:

'Saya tidak bersalah, saya akan terus tuntut keadilan' —Usman Ben, usia 94 tahun, bekas teknisi bengkel kereta api

Sepuluh tahun bekerja sebagai teknisi di bengkel kereta api di Stasiun Sigli, Usman Ben, kelahiran 1928, tiba-tiba kehilangan pekerjaan akibat huru hara politik di akhir September 1965.

"Saya dianggap terlibat G30S 1965," kata Usman saat ditemui di kediamannya di Kampung Blang Paseh, Sigli, Oktober lalu. Dia lalu diusir dari rumah dinas dan hak pensiunnya dicabut.

Pemecatan itu membuat kehidupan keluarga Usman sempat berantakan. Dia dan istrinya dipaksa pontang-panting mencari nafkah demi sesuap nasi.

"Apalagi anak-anak saya masih kecil-kecil saat itu," ujarnya, lirih.

Puluhan tahun kemudian, Usman masih terus bertanya-tanya apa alasan dia dipecat dari pekerjaannya itu.

"Hidup saya di 'kanan' selalu, tidak ada kata-kata 'kiri'," tegasnya, menggambarkan pilihan politiknya di tahun-tahun gelap itu. Dia mengaku tak tertarik propaganda PKI.

Pada tahun-tahun itu, sebagai pengagum Presiden Sukarno, Usman muda berlabuh ke organisasi Pemuda Marhaen dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ketika politik menjadi panglima, bergabung dalam organisasi politik di tahun-tahun itu apapun ideologi atau garis politiknya bukanlah hal yang 'diharamkan'.

"Saya pilih PNI, karena saya pikir tidak akan menyimpang. Orang-orang ajak saya ke 'kiri', saya tidak mau," jelas ayah enam anak ini.

Itulah sebabnya, dia mengaku tidak bersalah dan terus menuntut agar hak-haknya dipulihkan — nama baik dan hak mendapat pensiun.

"Kalau saya salah, saya tidak akan berani berjuang," tegasnya.

Baca juga:

Semenjak tahun 1980an, Usman mengadukan nasibnya ke otoritas jawatan kereta api di Aceh hingga kantor pusatnya di Pulau Jawa.

Dia juga berusaha mencari keadilan dengan menemui Gubernur Aceh, Komnas HAM, hingga kantor Wakil Presiden di Jakarta. "Saya bolak-balik, semua sudah saya datangi."

Di hadapan kami, Usman kemudian menunjukkan segepok salinan dokumen berisi berbagai surat pengaduan hingga rekomendasi dari otoritas terkait.

Ada pula surat instansi tertentu yang menyatakan bahwa Usman tak terlibat G30S 1965.

Tapi upayanya itu belum membuahkan hasil — sejauh ini. "Saya marah di hati, tapi sama Tuhan saya serahkan..." Usman akhirnya tak kuasa menahan tangis.

Di berbagai sudut dinding ruangan tamu, Usman memasang foto tentang aktivitasnya di organisasi Veteran.

"Itu bagian dari upaya saya untuk mendapatkan keadilan," ungkapnya. Usman lantas bercerita segudang aktivitasnya saat bersama kaum Republik mempertahankan kemerdekaan.

Tak melulu angkat senjata. Usman juga mendedikasikan hidupnya untuk memajukan Aceh melalui sepak bola. Dia pernah memperkuat tim Aceh pada PON 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan.

Kepada kami, dia kemudian menunjukkan foto-foto lama saat dia aktif bermain sepak bola. "Saya dulu berposisi di kiri luar. Saya pemain kidal," ujarnya dengan mata berbinar.

Dia lalu menyebut beberapa pemain idolanya di masa itu, seperti Ramang, Ramli atau Witarsa.

"Ramang kulitnya hitam," Usman terlihat bersemangat ketika berbicara ihwal sepak bola. "Saya pernah memeluk Ramli [saat berlaga] di Medan."

Pada akhir wawancara, sambil berlinang air mata, Usman bercerita bahwa belakangan ini dia bermimpi, upayanya menuntut keadilan itu membuahkan hasil.

"Dan hari ini rupanya bapak yang datang," katanya berulang-ulang seraya matanya menatap saya.

Dia berharap wawancara ini didengar para pemangku di Jakarta sehingga ada jalan agar upayanya mendapatkan keadilan itu didengar.

Saya kemudian berujar perlahan, "Semoga ya, Pak Usman". Mata saya lantas berkaca-kaca.

'Pulihkan hak-hak saya, demi anak cucu' — Syamsuddin, usia 86 tahun, eks asisten masinis

Trauma puluhan tahun akibat dicap antek PKI, membuat Syamsuddin menghindari kata 'PKI' dalam percakapan sehari-hari — demikian pula saat wawancara.

Lebih dari 55 tahun silam, kehidupan pria berusia 86 tahun ini terpuruk setelah gajinya disunat, diusir dari rumah dinas, dan akhirnya dipecat dari pekerjaannya karena dikaitkan dengan G30S.

Semenjak awal 1960an, dia bekerja sebagai asisten masinis. Pekerjaannya, antara lain, memasukkan "kayu ke dalam mesin" di dalam ruangan lokomotif. Ayahnya juga bekerja di jawatan kereta api.

"Waktu ada partai itu..." Syamsuddin, dalam kalimat pertama jawabannya, sama-sekali tak menyebut nama PKI. Dia hanya berulangkali menyebut "partai itu", "SBKA" dan "PBKA".

Di hadapan kami, dia mengaku bergabung ke PBKA (Persatuan Buruh Kereta Api) pada 1960an, dan bukan SBKA (Serikat Buruh Kereta Api). Yang disebut terakhir ini berafiliasi ke PKI.

"Kartu [anggota] saya PBKA," tegas Syamsuddin, yang seringkali menjawab dengan bahasa Aceh. Istri, anak dan cucunya kemudian menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia.

Namun di tengah pergolakan politik 1965, seseorang yang disebutnya sebagai pimpinannya menuduhnya aktif di SBKA. Hal itu terjadi setelah mereka berselisih secara pribadi.

Tudingan kejam yang membuat hidup Syamsuddin kelak hancur berantakan — kehilangan pekerjaan dan hak-haknya dan masa depannya menjadi gelap.

"Saya dulu pernah ribut dengan ketua PBKA. Entah kemudian, dia memasukkan nama saya ke SBKA. Saya 'kena' akhirnya," Syamsuddin mencoba mengingat peristiwa pahit itu dengan getir.

Istri Syamsuddin, Kamariah, memiliki ingatan yang lebih tajam. Suatu hari, sang pimpinan meminta Syamsuddin agar membiarkan gerbong diisi beras untuk diangkut keluar kota.

Namun permintaan itu ditolak Syamsuddin. Dia menganggap gerbong itu untuk mengangkut kayu, bukan beras. "Lagipula beras itu di luar kepentingan dinas," ungkap Kamariah.

"Akibatnya ada keributan. Saya maki-maki [atasannya]," Syamsuddin berkisah. Ujungnya, dia kemudian dilaporkan ke atasannya yang lebih tinggi dan... masa depannya 'habis'.

Akhirnya, "dia dituduh terlibat [G30S], dituding anggota SBKA..." Gajinya disunat sampai 1970an, sebelum akhirnya dipecat tanpa pensiun. Dia juga diusir dari rumah dinasnya.

Usai dipecat, Syamsuddin sempat mempertanyakannya ke pimpinan kereta api di Banda Aceh, namun dia keburu patah arang. Lagipula untuk ke ibu kota provinsi, butuh ongkos.

"Kami orang miskin, tidak punya apa-apa. Disuruh anak-anaknya [untuk protes], dia tidak mau lagi," istrinya bercerita. Matanya terlihat basah, suaranya gemetar.

Setelahnya, Syamsuddin bekerja serabutan demi asap dapurnya tetap mengepul, termasuk menjadi kuli bangunan. "Susahlah hidup kami."

Di ujung wawancara, Syamsuddin memiliki harapan yang tersisa, yaitu supaya hak-haknya untuk mendapat pensiun dan rumah dinas yang dicabut puluhan tahun silam, dipulihkan.

"Ini untuk cucu-cucu saya. Cucu-cucu saya sudah besar, yang sebagian belum kerja." Suara paraunya memenuhi ruangan tamu. Istri dan anaknya kemudian menggarisbawahinya.

Usai wawancara, Syamsuddin dengan langkah gontai kemudian menekuni kembali aktivitas kesehariannya, yaitu menjaga gubuk toko kelontongnya. Dia sendirian di sana.


'Jenazah ayah dan puluhan lainnya dikubur dalam satu lubang di Langsa' — Kesaksian anak-anak korban pembantaian 1965 di Idi, Aceh

Mariana berusia 16 tahun ketika ayahnya 'dijemput' oleh sekelompok orang di rumahnya di Kota Idi, di pesisir timur Aceh.

Abdullah, ayah tirinya, saat itu adalah pimpinan jawatan kereta api di kota itu, dan pimpinan PKI di wilayah tersebut.

Peristiwa itu terjadi 56 tahun silam di pagi hari. Mariana melihat langsung kejadian horor itu dalam jarak kurang dari tiga meter.

"Saya angkat ember [berisi air] untuk mandi pak cik saya," ungkap perempuan kelahiran 1949 ini. Pak cik adalah panggilan untuk ayah tirinya.

Usai mandi, sang ayah hanya sempat mengenakan "celana kolor dan baju" ketika "kerumunan orang" masuk dan "mengambilnya".

"Musuh yang mengambil [ayah tiri saya]", ujar anak sulung dari lima bersaudara ini. Dia tidak merinci apa yang disebutnya sebagai musuh.

Semenjak saat itulah, dia tidak pernah bertemu lagi ayahnya. Pada 1965, ayahnya — panggilan akrabnya 'AGT' — dan 20 orang yang dituduh komunis, disembelih.

Mayat mereka dikubur dalam satu lubang di suatu tempat di Kota Langsa — sekitar 75km dari Kota Idi. "Tapi kami tidak bisa melihat [kuburannya]," ujarnya.

"Cuma saya tidak sempat ambil jam dan cincinnya [ayahnya]," ungkapnya.

Akhir Oktober lalu, kami bertemu Mariana di rumah peninggalan orang tuanya yang terbuat dari kayu dan berbentuk panggung.

Keluarga Mariana masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Thaib Adamy — politikus PKI di Aceh yang dieksekusi militer setelah G30S 1965.

Bersama salah-seorang anak Thaib Adamy, Setiady, kami mewawancarai Mariana di ruang tamunya.

Di depan rumahnya, dulu ada rel kereta api jurusan Banda Aceh-Medan, tapi kini sudah tidak berbekas.

Semula Mariana mengira pertanyaan saya seputar 'pengalamannya' saat Aceh dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia.

Namun dia sekonyong-konyong teringat kejadian horor 56 tahun silam, ketika saya untuk ketiga kalinya menanyakan "apa yang terjadi pada ayahnya di tahun 1965".

Dia lantas mengajak BBC News Indonesia ke ruangan belakang, ketika puluhan tahun silam dia menyediakan air untuk keperluan mandi sang ayah — sebelum dijemput dan 'dihilangkan'.

Di akhir wawancara, Mariana kemudian berujar lirih: "Peristiwa itu sulit saya lupakan. Harus dilupakan, harus dilupakan. Kini sudah aman kan."

Tidak jauh dari 'rumah panggung', kami sebelumnya bertemu salah-seorang adik Mariana. Namanya Ratnawati, yang lima tahun lebih muda.

Usianya 12 tahun ketika tragedi itu menimpa ayahnya. Perempuan kelahiran 1953 ini akhirnya tahu di mana ayah dikuburkan. Tapi dia belum pernah ke sana sampai sekarang.

Di hadapan kami, Ratnawati terlihat lebih leluasa memperlihatkan perasaannya. Ia mengalami trauma semenjak peristiwa 'penjemputan' ayah tirinya.

"Ya, Allah, ya Tuhanku, kalau tidur malam, aduuuh, mata terpejam, tapi hati tidak tidur. Orang tua hilang apakah itu enggak [tidak menimbulkan trauma] parah," ungkapnya.

Saat wawancara, Ratna dan Setiady — anak Thaib Adamy, tokoh PKI Aceh yang juga dibantai — beberapa kali tak kuasa menahan lelehan air matanya.

"Alhamdulillah kami selamat, walaupun orang tua kami tidak selamat. Kami masih dilindungi," ungkap Ratna. Mereka berharap tragedi itu tak terulang lagi.


'Alat perlawanan melawan kolonial Belanda' — Sejarah kehadiran PKI di sepanjang jalur kereta api di pesisir timur Aceh

Kisah keluarga pegawai kereta api di Aceh yang menjadi korban kekerasan 1965 karena dituduh komunis, tidak bisa dilepaskan dari sejarah di balik keberadaan jalur kereta api di wilayah itu.

Jalur kereta api yang menghubungkan Banda Aceh-Medan — antara lain melalui Kota Sigli dan Idi di pesisir timur Aceh — dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad 20.

Semula, jalur kereta api ini dibangun untuk mengangkut tentara kolonial Belanda guna memadamkan pemberontakan rakyat Aceh.

Namun seiring perjalanan waktu, keberadaan infrastruktur jalur kereta api itu berkembang menjadi penghubung aliran barang dan manusia ke wilayah itu.

Ketika orang-orang luar Aceh datang dan menetap di berbagai kota pesisir timurnya, juga kelak di pedalaman, ide-ide dari luar pun mengalir dan menyebar

"Di sana, ada aliran ide-ide, pikiran-pikiran, termasuk komunisme. Dan PKI di Aceh itu dulu sangat berkembang di pantai timur," kata Humam Hamid, ahli sosiologi dari Banda Aceh, kepada BBC News Indonesia, Oktober 2021 lalu.

Baca juga:

'Jadi ide [komunisme] itu datang lewat fisik kereta api, melalui orang-orang yang datang, baik orang Aceh atau non-Aceh, " kata Humam Hamid.

Kehadiran ide komunis di Aceh kemudian bertemu dengan kemarahan anak-anak muda Aceh terhadap kolonial Belanda. "Ada alternatif lain di luar nilai agama," ujarnya.

"Ada penjelasan logis beyond religion tentang kenapa harus melawan kolonial. Dan itu ada pada PKI," jelas Humam.

Sejarawan Rusdi Sufi, dalam buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional - Bagian II Konflik Lokal (2012), juga mencatat komunisme masuk ke Aceh dibawa oleh para pendatang.

Baca juga:

Sejarah mencatat, ada beberapa nama tokoh komunis yang disebutkan menyebarkan ideologi komunis ke Aceh, seperti A Karim MS dan Nathar Zainuddin — keduanya dari Minangkabau.

Membawa ideologi komunis, para pendatang asal Sumatera Barat dan Jawa 'menularkannya' kepada para buruh di kawasan perkebunan, pertambangan, hingga buruh kereta api.

Semula ide-ide komunis, menurut Ruth T McVey (Kemunculan Komunisme Indonesia, 2010), hanya "menarik orang Melayu setempat dan tidak menarik bagi orang Aceh sendiri."

Namun Rusdi Sufi mencatat, lambat laun gerakan ini menjalar pula di kalangan orang Aceh yang telah mendapat pengaruh budaya urban.

"Yaitu yang tidak puas dengan struktur sosial masyarakat feodalistik," jelas Rusdi.

Faktor lainnya, demikian analisa Rusdi, PKI ketika itu mampu mengadaptasikan dirinya menjadi organisasi yang akrab dengan Islam.

"Kedekatan dengan Islam ini membuktikan bahwa PKI yang berkembang di Aceh adalah PKI yang sudah ter-Islam-kan," paparnya dalam buku Peristiwa PKI di Aceh, Sejarah Kelam Konflik Ideologis di Serambi Mekkah (2008).

Di sini, Humam Hamid menganalisa, PKI akhirnya bisa berkembang di Aceh, kemungkinan karena mereka dan kelompok agama "bisa saling mendukung" dalam melawan kolonial.

Itulah sebabnya, pada 1931, sebuah laporan penguasa militer Hindia Belanda di Aceh menyebutkan, aktivitas PKI sudah demikian marak di Samalanga — kini nama kecamatan di Kabupaten Bireuen.

Di wilayah itu, menurut Rusdi Sufi, merupakan basis gerakan Sarikat Islam (SI). "Yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis," tulisnya.

Pada tahun-tahun itu, salah-seorang ulama dan aktivis SI di Samalanga adalah ayah Humam Hamid, Teungku Abdoel Hamid. Dia dicurigai Belanda sebagai anggota SI Merah.

"Ayah saya lari ke Malaysia dan ke Timur Tengah (Mekkah)," ungkap Humam. "Mungkin ayah saya sudah berpikiran revolusioner pada masa itu untuk melawan penjajahan."

Aktivitas PKI di Aceh, tentu saja, tidak dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Lalu terjadilah pengawasan, penangkapan, pengusiran dan pengasingan terhadap mereka.

Gerakan komunis di Aceh yang berkembang pesat selama awal 1925, tulis Ruth T McVey (halaman 524, 2010), dihadapi dengan pemulangan secara paksa sejumlah pemimpinnya ke tempat asalnya di Minangkabau.

Kebijakan ini, menurut Rusdi Sufi, menyebabkan gerakan ini menjadi hilang dari Aceh hingga akhir masa kolonial.

"Gerakan komunis memulai kembali aktivitasnya di tanah Aceh adalah pada November 1945, sebulan setelah pembentukan Karesidenan Aceh, dengan terbentuknya cabang PKI..." tulis Rusdi Sufi.

Dan, keberadaan PKI akhirnya lenyap dari Indonesia, setelah peristiwa G30S 1965 dan ditutup tragedi kemanusiaan, yaitu pembunuhan massal atas orang-orang yang dituduh komunis, termasuk di Aceh.


Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.

Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.

Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.

Wartawan Sinarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan kami di Sigli dan sekitarnya.





Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x