Kompas TV nasional rumah pemilu

MK: Menteri yang Mau Nyapres di Pilpres 2024 Tak Harus Mundur, Cukup Minta Izin ke Presiden

Kompas.tv - 1 November 2022, 11:20 WIB
mk-menteri-yang-mau-nyapres-di-pilpres-2024-tak-harus-mundur-cukup-minta-izin-ke-presiden
Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, serta Daniel Yusmic P. Foekh membahas mengenai tanda tangan palsu dalam permohonan uji materi UU IKN pada Selasa (13/7/202). (Sumber: mkri.id) 
Penulis : Fadel Prayoga | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS TV - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menteri yang hendak mencalonkan diri sebagai capres-cawapres di Pilpres 2024 tak perlu mundur dari jabatannya. Namun, mereka harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden. 

Dilansir dari Kompas.id, Selasa (1\11\2022), keputusan itu diambil setelah MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Partai Garuda yang mempersoalkan konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 170 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Baca Juga: Bertemu Jokowi di Istana Merdeka, Cak Imin: Presiden Pastikan Tak Recoki Koalisi PKB di Pilpres 2024

Pasal tersebut mengatur, pejabat negara yang maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Dalam penjelasan Pasal 170 Ayat (1) diatur bahwa menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam kategori pejabat negara yang harus mundur jika dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai capres ataupun cawapres. Pemohon mendalilkan, ketentuan tersebut diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.

Atas permohonan itu, MK menyatakan ada pembedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan, yakni rumpun jabatan karena pemilihan (presiden, wakil presiden, anggota legislatif, kepala daerah) dan rumpun jabatan karena pengangkatan (menteri dan lainnya). 

Padahal, apabila ditinjau dari perspektif seorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu, sejatinya pada diri orang tersebut melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Dengan catatan, hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang ataupun putusan pengadilan.

Dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Arief Hidayat, Senin (31\10\2022), terlepas pejabat negara menduduki jabatan karena sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih dan memilih tidak boleh dikurangi. 

MK menilai, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara harus mundur jika dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional.

”Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945,” ujar Arief.

Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra mengajukan pendapat yang berbeda terkait keputusan tersebut.   Ia mengatakan, perlu dicarikan titik keseimbangan antara normalitas penyelenggaraan sistem pemerintahan presidensial agar tidak terjebak dalam sejumlah anomali dan hak konstitusional warganegara untuk dipilih, termasuk dipilih sebagai presiden dan wakil presiden.

Keseimbangan baru tersebut memberikan kesempatan kepada menteri/pejabat setingkat menteri untuk mengajukan diri sebagai calon presiden/wapres sepanjang mendapat persetujuan dari presiden dan nonaktif/cuti sebagai menteri.

Persetujuan dan izin cuti dari presiden diperlukan untuk menjaga timbulnya kondisi dilematis dan sekaligus potensial merusak bangunan sistem pemerintahan presidensial. Misalnya ketika presiden masih dalam periode pertama jabatannya dan berpotensi untuk maju untuk periode masa jabatan kedua, akan ada pertarungan antara presiden dan anggota cabinet yang notabena adalah bawahan dan pembantu presiden.

Menurut dia, kondisi anomali tersebut akan samakin sulit dipahami jika anggota kabinet mengalahkan presiden petahana. 

Baca Juga: Demokrat: AHY Sosok yang Tepat Jadi Cawapres Anies di Pilpres 2024

”Lalu apa yang akan terjadi dalam masa lame duck, yaitu ketika calon presiden yang merupakan anggota kabinet berhasil memenangi kontenstasi pemilihan presiden, sementara presiden incumbent masih melanjutkan sisa masa jabatan hingga akhir masa jabatan. Jikalau dikaitkan dengan tahapan Pilpres 2024, masa lame tersebut bisa mencapai enam sampai delapan bulan,” kata Saldi.

Lame duck sering diartikan "bebek lumpuh", mengacu pada kondisi petahana yang dibiarkan dalam masa transisi, sementara pejabat baru sudah terpilih. 



Sumber : Kompas.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x