Kompas TV nasional politik

Penundaan Pemilu Disebut Cara Populer Rezim Otoritarian Perpanjang Jabatan

Kompas.tv - 27 Februari 2022, 20:02 WIB
penundaan-pemilu-disebut-cara-populer-rezim-otoritarian-perpanjang-jabatan
Suasana Pengambilan Nomor Urut Partai Politik untuk Pemilu 2019 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (18/2/2018). Empatbelas partai politik (parpol) nasional dan empat partai politik lokal Aceh lolos verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2019. (Sumber: Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Penulis : Danang Suryo | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV - Usulan penundaan Pemilhan Umum (Pemilu) 2024 mengemuka kembali melalui pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Menanggapi usulan tersebut Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, upaya tersebut merupakan tindak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode yang dikemas dalam narasi baru.

Dengan ditundanya pemilu, presiden bisa memperpanjang jabatannya tanpa perlu mengubah konstitusi dan ikut dalam kontestasi politik.

"Penundaan pemilu sama dengan perpanjangan masa jabatan. Perpanjangan masa jabatan adalah bungkus atau baju baru presiden 3 periode," tuturnya kepada Jurnalis Kompas TV Cindy PermadiMinggu (27/2/2022).

"Tak ada alasan logis relevan secara konstitusi untuk menunda pemilu dengan alasan menjaga laju pertumbuhan ekonomi," lanjut Titi.

Baca Juga: Terkait Wacana Tunda Pemilu 2024, Yusril: Ada Konsekuensi Legitimasi yang Harus Dipertimbangkan

Ia melanjutkan, jika langkah penundaan pemilu merupakan jalan yang populer digunakan oleh rezim otoritarian.

"Dalam literatur akademik, penundaan pemilu cara populer yang digunakan rezim otoritarian tanpa pemilu. Jadi penundaan pemilu upaya melawan masa pembatasan jabatan dengan menghindari pemilu," jelasnya.

Titi menyatakan memang ada Undang-undang (UU) Pemilu yang diatur terkait penundaan pemilu, tetapi dengan syarat. Syaratnya seperti adanya kondisi luar biasa seperti bencana alam dan gangguan keamanan.

"(UU Pemilu) pun tak boleh menyimpangi konstitusi yang mana sudah jelas masa jabatan presiden 5 tahun dan dipilih kembali 1 kali masa jabatan. Tidak ada alasan moral akuntabel untuk ubah konsitusi untuk penundaan pemilu," tuturnya.

Titi menambahkan usulan terkait penundaan pemilu ini malah menunjukkan adanya inkonsistensi di kalangan pejabat publik.

"Dengan membaca argumen pejabat publik, kita bisa lihat inkonsistensi pejabat publik kita, tiba keinginan, tiba argumen," tuturnya.

Baca Juga: Tidak Ada Negara di Dunia Ini yang Tunda Pemilu karena Pertumbuhan Ekonomi

 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x