Kompas TV nasional agama

Hasil Ijtima Ulama MUI: Ikut Pemilu Wajib, Pilkada Lebih Banyak Kerusakannya

Kompas.tv - 12 November 2021, 15:23 WIB
hasil-ijtima-ulama-mui-ikut-pemilu-wajib-pilkada-lebih-banyak-kerusakannya
Asrorun Niam, ketua Fatwa MUI ketika membacakan hasil pertemuan ulama, salah satu poinnya soal pemilu dan pemilukada (Sumber: Tangkapan layar MUI TV)
Penulis : Dedik Priyanto | Editor : Desy Afrianti

Baca Juga: Poin Lengkap Keputusan Ijtima Ulama MUI: Presiden Cukup 2 Periode hingga Kripto Haram

JAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu poin penting yang dihasilkan dalam Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah keterkaitan tentang pemilu. Dalam pertemuan itu, para ulama dan Lembaga komite fatwa sepakat, ikut pemilu hukumnya wajib bagi masyarakat Indonesia.

Meskipun begitu, terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) para ulama menilai lebih banyak mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan. Ini terkait dengan banyaknya konflik, praktek suap-menyuap maupun politik uang yang kerap terjadi selama proses pilkada di tanah air.

Hal itu ditegaskan oleh ketua Komite Fatwa MUI, Dr. KH Asrorun Niam, ketika membacakan poin kesepakatan ulama Ijtima MUI tentang keterlibatan masyarakat dalam sistem demokrasi dan pemilu.

“Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam pemilu hukumnya wajib," kata Niam sebagaimana dikutip KOMPAS TV dari akun Youtube resmi MUI.

Lebih rinci, aturan untuk ikut ikut pemilu bagi masyarakat adalah ketika pemilu itu  bebas dari suap (risywah), politik uang (money politic), kecurangan (khida'), korupsi (ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar'i.

Baca Juga: Poin Lengkap Keputusan Ijtima Ulama MUI: Presiden Cukup 2 Periode hingga Kripto Haram

Ijtima Ulama MUI Buka Opsi Pilkada Tak Langsung

Khusus terkait dengan pemilihan kepala daerah, kata Asrorun, penyelenggaraannya selama ini masih menyimpan sejumlah mafsadat (kerusakan). Untuk itulah, MUI memberikan rekomendasi untuk meninjau ulang dan tetap memperbolehkan asalkan sesuai dengan prinsip Syariah.

“Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah,” kata Niam.

Baca Juga: Di Forum Ijtima Ulama MUI, Mahfud MD: Indonesia Bukan Negara Agama maupun Sekuler

Bisa jadi, ketika Pilkada langsung terjadi banyak kecurangan dan menimbulkan mafsadah (kerusakaan), maka sistem ini sebaiknya diatur ulang.

Hal ini membuka opsi terkait pilkada tak langsung yang memang lagi ramai diperbincangkan publik.

“Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktek politik uang," kata Asrorun.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x