Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Dinilai Tak Layak Vaksin Jadi Komoditas, Kimia Farma Sebut Tak Ada Unsur Komersial

Kompas.tv - 12 Juli 2021, 10:05 WIB
dinilai-tak-layak-vaksin-jadi-komoditas-kimia-farma-sebut-tak-ada-unsur-komersial
Vaksin Covid-19 buatan Pfizer dan BioNTech (Sumber: BioNTech via Xinhua)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV – Kontoversi vaksin berbayar mencuat usai Kimia Farma membuka vaksinasi berbayar. Pemerintah  telah memperbolehkan vaksin Covid-19 dijual dengan harga Rp 879.140 lewat Kimia Farma dan fasilitas kesehatan swasta lainnya.

Harga vaksin Covid-19 tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm Melalui Penunjukan PT Bio Farma (Persero) dalam Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Covid-19 dan Tarif Maksimal Pelayanan Vaksinasi Gotong Royong.

Kepmenkes itu semula dibuat untuk mengatur tarif vaksinasi gotong royong oleh perusahaan untuk para karyawannya. Namun, ketentuan tarif yang sama akan diberlakukan untuk pelaksanaan vaksinasi individu yang berbayar.  

Adapun harga pembelian vaksin adalah Rp 321.660 dengan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp 117.910. Di dalamnya sudah termasuk pungutan margin atau keuntungan dan biaya distribusi (franco/ditanggung penjual) kabupaten/kota, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Baca Juga: YLKI: Vaksin Berbayar Tidak Etis, Harus Ditolak

Besar pungutan margin dari tarif pembelian vaksin adalah 20 persen, sementara besar pungutan margin untuk tarif pelayanan vaksinasi 15 persen. 

Melansir dari laman Kompas.id, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, di tengah eskalasi krisis Covid-19 belakangan ini, vaksin semakin menjadi barang publik (public goods) yang menentukan nasib warga. 

Menurutnya, tidak layak jika badan usaha milik negara (BUMN) menjadikan vaksin sebagai barang niaga atau komoditas, lalu menarik keuntungan di tengah krisis. Apalagi, perseroan farmasi seperti PT Kimia Farma Tbk sebenarnya telah berhasil mengeruk laba dari pandemi Covid-19 selama tahun 2020.

Mengutip Laporan Tahunan 2020 PT Kimia Farma Tbk, perseroan itu membukukan penjualan Rp 10 triliun, tumbuh 6,4 persen dari tahun 2019 sebesar Rp 9,4 triliun. Perseroan juga membukukan laba usaha Rp 669,7 miliar, meningkat dari tahun 2019 dengan laba Rp 536,2 miliar.

Dari capaian itu, laba bersih yang didapat PT Kimia Farma selama tahun 2020 adalah Rp 20,4 miliar, meningkat 28,5 persen dari realisasi tahun 2019 sebesar Rp 15,9 miliar. 

”Seharusnya ruang keuangan BUMN farmasi itu cukup untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan memperluas akses vaksinasi bagi masyarakat. Bentuknya bisa semacam CSR (corporate social responsibility) karena sebenarnya toh mereka sedang mengeruk keuntungan yang banyak juga dari pandemi ini,” kata Faisal, Minggu (11/7/2021).

Tak ada Unsur Komersial

Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk Ganti Winarno mengatakan, tidak ada unsur komersialisasi dalam vaksinasi gotong royong individu. "Ada permintaan dari kelompok masyarakat tertentu terhadap jalur vaksinasi tersebut," katanya.

Selain itu, lanjutnya, vaksinasi gotong royong individu yang diprioritaskan di wilayah Jawa-Bali dijalankan untuk memperluas akses vaksin dalam rangka membangun kekebalan komunitas (herd community).

Kanal vaksinasi tersebut tidak mengambil jatah dari jalur lainnya. Hingga saat ini, terdapat 40.000 dosis vaksin yang siap digelontorkan lewat vaksinasi gotong royong individu.

Di samping itu, Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Kimia Farma Diagnostika Agus Chandra mengatakan, perlu ada pembukaan kanal vaksinasi gotong royong individu karena ada kewajiban vaksinasi bagi masyarakat. Dia menjamin penyimpanan vaksin serta pelaksanaannya mematuhi protokol dan prosedur standar operasional yang berlaku.

Baca Juga: Komisi IX Minta Vaksinasi Berbayar Kimia Farma Dibatalkan

 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x