> >

Vonis Dua Bulan Polisi Pelaku Pencabulan Anak, Anggota DPR: Cederai Rasa Keadilan Publik

Kalimantan | 19 Agustus 2023, 07:00 WIB
Foto Ilustrasi. Seorang anggota Satlantas Polresta Pontianak, Kalimantan Barat Brigadir Dwi Yandi dipecat atau PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) karena kasus pencabulan anak di bawah umur. (Sumber: ANTARA/HO-Humas Polresta Pontianak)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, Kalimantan Tengah, yang memvonis dua bulan penjara kepada perwira polisi pelaku kekerasan seksual anak, telah mencederai keadilan. 

“Wajar putusan ini dianggap mencederai rasa keadilan publik, mengingat pelaku kekerasan adalah oknum penegak hukum dan korbannya anak di bawah umur yang di dalam UU TPKS menjadi pemberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual,” katanya, Jumat (18/8/2023).

Baca Juga: Mengaku sebagai Tersangka Pencabulan Anak Kandung, Seorang Pria Tewas Dianiaya Tahanan Lain

Seperti diketahui, majelis hakim pada persidangan di PN Palangka Raya memutuskan Mahmud bin Hadi Mulyanto bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap dua anak di bawah umur berinisial M dan D.

Meski dinyatakan bersalah, oknum polisi berpangkat AKP itu hanya dijatuhi hukum dua bulan penjara dan denda Rp5 juta.

Putusan hakim tersebut menuai banyak kontroversi di tengah kegelisahan publik terhadap banyaknya kejahatan seksual yang terjadi.

Apalagi, kata Didik, pelaku merupakan anggota polisi aktif yang seharusnya mengayomi masyarakat.

Selain itu, dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan adanya tambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dari beberapa profesi tertentu.

Hukumannya bahkan ditambah 1/3 dari ancaman pidana.

Profesi yang dimaksud adalah tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban.

Selain itu, aturan ini juga berlaku bagi keluarga hingga pejabat publik.

“Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan,” tegas Didik.

Ditambahkannya, kekerasan seksual akan menimbulkan dampak luar biasa kepada korban yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik.

Didik menyatakan, dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi kehidupan dan masa depan korban dan akan semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang termarginalkan.

Baca Juga: Terduga Teroris DE dan 3 Polisi yang Ditangkap Polda Metro Ternyata Beli Senpi di Tempat yang Sama

“Baik secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas,” sebutnya dikutip dari dpr.go.id.

Oleh karena itu, Didik menekankan agar setiap pelaku kekerasan seksual seyogyanya mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Sebab, perbuatan pelaku bisa menimbulkan trauma dan penderitaan yang berkepanjangan terhadap korban.

“Kita tidak ingin masyarakat hilang kepercayaannya akan terwujudnya keadilan melalui putusan hakim. Jika masyarakat selama ini beranggapan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di Dunia, bagaimana dengan anggapan masyarakat jika ada putusan hakim yang dirasakan tidak adil dan mencederai rasa keadilan publik? Lantas mewakili siapa keberadaan hakim di dunia?” ungkapnya.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU