> >

Cerita Perajin Anyaman Eceng Gondok, Tak Terdampak Pandemi tapi Harga Bahan Naik Seiring Harga BBM

Sosial | 10 September 2022, 06:40 WIB
Sejumlah perajin sedang menganyam anyaman eceng gondok di sebuah rumah di Dusun Kenteng, Caturharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (8/9/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Biasanya, anyaman dari eceng gondok pipih digunakan untuk alas kerajinan buatannya, seperti keranjang laundry atau keranjang pakaian kotor.

Anyaman pipih ini juga digunakan untuk kerajinan berbentuk lembaran, seperti karpet.

Sedangkan anyaman dari eceng gondok utuh atau palitan digunakan pada dinding keranjang atau bagian yang berposisi vertikal.

“Dianyamnya cuma seperti ini, keliling. Setelah akhir kemudian disumpet (ditutup),” ucapnya sambil memperagakan cara menganyam.

Untuk jenis anyaman palitan, batang eceng gondok kering langsung dibentuk seperti kincir, kemudian dianyam hingga mencapai ukuran yang diinginkan.

Setelah proses penganyaman selesai, bahan jadi itu kemudian direkatkan menggunakan lem khusus. Kemudian, setelah lem kering dan merekat, kerajinan setengah jadi itu dibersihkan menggunakan H2O2 dan HCl.

Lalu, bahan-bahan itu dikeringkan dengan cara menjemur di bawah terik matahari, selanjutnya dicuci dan kembali dikeringkan.

Proses terakhir adalah pengawetan barang kerajinan, dengan cara mencelupkan ke dalam cairan antijamur, dan dikeringkan untuk kemudian dipasarkan.

“Waktu penjemuran sekitar satu hari jika cuaca sedang terik.”

Jika cuaca sedang hujan, proses pengeringan akan menjadi lebih lama, bisa mencapai tiga hari bahkan bisa mencapai dua pekan.

Sejumlah karyawan Ginardi menurunkan kerajinan anyaman eceng gondok dari mobil untuk dijemur, Kamis (8/9/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Solusinya, dijemur di tepi jalan, kalau hujan turun kemudian ditutup menggunakan terpal.”

“Kalau pakai terpal kan nanti di dalamnya itu panas, jadi kadar airnya menguap. Nanti kalau ada panas langsung dikeluarin semua,” ucapnya.

Saat ini kerajinan produksi Ginardi sudah dipasarkan hingga ke mancanegara, mulai dari Malaysia, Australia, Belanda, China, hingga Amerika Serikat.

Meskipun kerajinan buatannya sudah merambah beberapa benua, Ginardi mengaku dirinya tidak memasarkan sendiri ke luar negeri.

“Sebetulnya saya cuma lokalan, tapi ada produk saya yang sampai ke luar negeri.”

Produk yang terkirim sampai ke luar negeri biasanya dikirim oleh eksportir yang membeli barang dari Ginardi.

Sedangkan untuk dalam negeri, kerajinan anyaman eceng gondok buatannya sudah merambah sejumlah kota, seperti Jakarta dan Surabaya, bahkan hingga ke luar Jawa, seperti Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Harga yang dipatok oleh Ginardi untuk barang-barang kerajinan itu beragam, mulai dari Rp5 ribu hingga Rp2 jutaan.

Kerajinan termahal yang harganya mencapai Rp2 juta adalah karpet eceng gondok berukuran besar, yakni 4x5 meter.

Untuk memproduksi karpet tersebut, dibutuhkan tenaga lima pekerja, dan waktu produksi hingga dua pekan.

“Pengerjaannya lama itu. Kalau lima meter itu berarti dikerjakan lima orang, jadi paling sekitar satu minggu baru selesai penganyaman, belum proses penjemuran dan lain-lain.”

“Totalnya mungkin sekitar dua minggu,” lanjutnya.

Selain kerajinan berbahan dasar eceng gondok, Ginardi juga memproduksi kerajinan berbahan baku serat mendong.

Kerajinan dari serat mendong, biasanya dibuat menjadi pelapis cermin dan keranjang. Bahan baku serat mendong ia beli dari petani di daerah Minggir, Sleman.

Dalam memproduksi kerajinan anyaman tersebut, Ginardi dibantu oleh puluhan tenaga kerja yang merupakan tetangga di sekitar rumahnya.

Sebanyak 17 orang di antaranya merupakan tenaga finishing dan penganyam yang setiap hari datang untuk bekerja dan menerima upah harian.

“Yang finishing di sini sebelas orang, yang bantu menganyam di rumah satunya ada enam orang. Itu yang kerja setiap hari masuk.”

Sementara pekerja lepas yang menggunakan sistem borongan, jumlahnya 30 orang. Mereka mengerjakan garapan di rumah masing-masing setelah mengambil bahan mentah dari Ginardi.

“Jadi mereka ambil bahan dari saya, dikerjakan di rumah, setelah selesai dibawa kembali ke sini lagi.”

Ginardi juga menyebut bahwa tak jarang dirinya khawatir dengan nasib pekerjanya saat pesanan minim atau bahkan tidak ada pesanan sama sekali.

Proses penganyaman batang eceng gondok menjadi kerajinan. (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Namun, sebisa mungkin ia tetap mempekerjakan mereka, meski terkadang penghasilannya minus. Sebab, ia yakin selalu ada jalan yang diberikan Tuhan.

“Pernah sampai dua minggu saya minus, tapi saya tetap jalan. Alhamdulillah tiba-tiba ada pesanan cukup banyak.”

“Orangnya butuh cepat, dan saya sanggupi karena waktu itu pas tidak ada pesanan,” kenangnya.

Ginardi mengaku mulai menekuni kerajinan eceng gondok pada tahun 1999. Saat itu, rumah salah satu keluarganyan dikontrak oleh perajin lain.

Ginardi pun mulai belajar menganyam dan memproduksi sendiri kerajinan berbahan eceng gondok.

“Terus saya belajar menganyam, dan berjalannya waktu, saya mengerjakan pesanan perusahaan sampai sekarang ngerjakan lokalan-lokalan.”

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU