> >

Aksi Jogja Memanggil Berakhir Ricuh, Ini Kata Sosiolog UGM

Berita daerah | 9 Oktober 2020, 13:10 WIB
Jogja Memanggil (Sumber: -)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Sosiolog UGM AB Widyanta menilai persoalan Omnibus Law menyatukan berbagai gerakan di masyarakat yang menolak oligarki, termasuk aksi Jogja Memanggil. Meskipun demikian, ia sejak awal mengingatkan massa peserta aksi untuk tetap menjaga kesadaran, sebab psikologi massa sulit dikontrol.

“Ini menjadi arena perang, konspirasi banyak bermain, dan dalam hal ini harus dijernihkan,” ujarnya, Kamis (8/10/2020).

Ia tidak menampik tunggang-menunggangi dalam sebuah aksi unjuk rasa tidak bisa dihindari. Dalam keriuhan, secara psikologi massa memiliki pola hitam putih. Artinya, mereka ingin mencapai tujuan dari aksi demonstrasi atau unjuk rasa.

Baca Juga: Aksi Jogja Memanggil Ricuh, Ini Daftar Kerugian Materiil dan Korbannya

Dalam konteks kejadian aksi Jogja Memanggil, massa yang berunjuk rasa sebenarnya ingin meminta pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang sudah disahkan. Oleh karena itu, tujuan yang semula sudah disepakati ini jangan sampai bergeser.

“Terkait ada yang menunggangi atau tidak, itu dibutuhkan kesadaran untuk punya aturan permainan, misal menyampaikan aspirasi tetapi tidak menimbulkan kekacauan,” ucapnya.

Menurut Abe, kesadaran semacam ini perlu dibangun dan jika sudah ada aksi yang melenceng dari tujuan semula, harus bisa menyetop sehingga fokus pembatalan UU Cipta Kerja tidak menjadi bias.

Baca Juga: Gaya Badut Kampanye Covid-19 di Tengah Aksi Jogja Memanggil

Aksi Jogja Memanggil menolak UU Cipta Kerja di Yogyakarta berakhir ricuh di DPRD DIY, Kamis (8/10/2020).  Kericuhan mulai terjadi sekitar pukul 12.30 WIB dan mulai mereda pada pukul 16.00 WIB.

Peserta aksi yang datang ke gedung DPRD DIY terdiri dari beberapa kelompok. Aksi pertama yang diwakili para buruh berjalan lancar dan damai.

Penulis : Switzy-Sabandar

Sumber : Kompas TV


TERBARU