> >

MK Batalkan 2 Pasal tentang Penyebaran Berita Bohong di UU Peraturan Hukum Pidana

Hukum | 21 Maret 2024, 20:55 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Sumber: Kompas.com)

MK juga menilai, ketentuan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 mengandung pasal karet yang tidak jelas tolak ukurnya.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, pasal tersebut diangggap tak lagi relevan. Sebab, masyarakat dengan mudah mengakses informasi secara cepat tanpa diketahui informasi itu berita bohong atau berita benar atau berita berkelebihan.

Dalam pertimbangannya, MK juga menilai unsur onar atau keonaran di dalam Pasal 14 UU 1/1946 mengandung ketidakjelasan ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya.

Kata keonaran dalam kedua pasal tersebut dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda

”Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat tindak pidana,” kata Arsul Sani.

Selain menghapus ketentuan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946, MK juga mengubah ketentuan Pasal 310 UU 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan menambahkan frasa ”dengan cara lisan”.

Pasal tersebut kemudian menjadi berbunyi: ”Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah”.

Hakim konstitusi menilai kedua pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet yang tidak jelas parameter atau tolok ukurnya, sehingga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penerapannya.

MK juga berpendapat bahwa pasal itu dapat menjerat pihak-pihak yang sebenarnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa.

Baca Juga: Gugat Hasil Pilpres 2024, Ganjar: Mahkamah Konstitusi Benteng Terakhir

Hal itu dapat menyebabkan kebebasan berpendapat menjadi terancam aktualisasinya.

Sebab, hal yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subyektif dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.

Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna ”keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas.id


TERBARU