> >

10 Januari Diperingati Sebagai Hari Tritura, Begini Latar Belakang, Isi Tuntutan, hingga Dampaknya

Peristiwa | 10 Januari 2024, 04:00 WIB
Unjuk rasa Tritura yang dilakukan oleh Mahasiswa pada tahun 1966 sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS TV - Hari Tritura, yang diperingati pada 10 Januari di setiap tahunnya, merupakan tonggak sejarah di Indonesia yang menandai upaya penegakan kekuasaan rakyat.

Peristiwa ini akan terus diperingati mengingat pada rentang 10-13 Januari 1966, mahasiswa melancarkan gelombang aksi sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.

Aksi ini dipicu oleh berbagai masalah, termasuk ketidaktegasan rezim pemerintahan dan ketidakstabilan ekonomi.

Latar Belakang Tritura

Dilihat dari sejarahnya Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) berawal karena kondisi politik di Indonesia mulai dari tahun 1960-1965, diwarnai dengan konstelasi tiga kekuasan politik, diantaranya ABRI (Angkatan Darat), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kepemimpinan yang berpusat pada Soekarno.

Ketidakstabilan politik telah berkontribusi pada penurunan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

Apalagi kondisi ini diperparah oleh kebijakan Presiden Soekarno yang membuat Indonesia dijauhi dari negara-negara Barat. Hal ini dikarenakan Soekarno sering menunjukkan sikap anti-neokolonialisme dan neoimperialisme, yang menyebabkan posisi Indonesia semakin sulit.

Selain itu, sikap Soekarno tersebut menyebabkan Indonesia semakin kehilangan dukungan internasional, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.

Baca Juga: Turis Internasional Diajak Mengenal Sejarah Gempa Besar Fukushima Jepang Lewat Lomba Menulis!

Puncaknya terjadi pada peristiwa G30S atau Gerakan 30 September, yang menyeret PKI sebagai pelaku utama. PKI, yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh jenderal TNI.

Tetapi menuju pergantian tahun 1965 ke 1966, belum ada tindakan pemerintah yang memberikan dampak positif. Selain itu, pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah mengganggu aktivitas perekonomian.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, diterapkan sistem ekonomi terpimpin di mana seluruh aktivitas ekonomi dipusatkan di pemerintah. Daerah hanya dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, dengan pusat memegang kekuasaan yang besar, terutama di bawah kewenangan Soekarno pada masa itu.

Kebijakan Soekarno untuk berkonfrontasi dengan Malaysia sejak 1961 juga memberikan dampak signifikan pada perekonomian. Sikap keras Soekarno diperparah dengan keputusan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1965, yang mengakibatkan terhentinya kegiatan ekspor.

Akibatnya, sejak tahun 1961, negara harus terus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa. Pada tahun 1965, cadangan emas dan devisa telah habis, bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar 3 juta dolar AS.

Hal itu merupakan dampak dari politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Meskipun perekonomian semakin defisit, Soekarno justru semakin gencar dalam menghamburkan uang negara untuk menunjukkan kehebatan Indonesia.

Biaya pemerintah untuk proyek politik mercusuar seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada 1963 dan Conference of the New Emerging Forces (Conefo) pada 1965 meningkat secara signifikan. Hal itu menyebabkan defisit anggaran belanja pemerintah meningkat dari 29,7 persen pada 1961 menjadi 63,4 persen pada 1965.

Sejak 1961, situasi moneter yang semakin parah ditandai oleh tingginya laju inflasi (hiperinflasi). Pendapatan per kapita Indonesia mengalami penurunan yang signifikan antara 1962-1963. Pada 1965, tingkat peredaran uang naik hingga 161 persen.

Sementara itu, tingkat inflasi mencapai 592 persen. Bantuan asing berhenti karena Soekarno menolak bantuan dana sebesar 400 juta dolar AS dari International Monetary Fund (IMF). Tentu saja, keputusan tersebut membuat investasi juga merosot tajam.

Baca Juga: Jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, Begini Sejarah dan Perkembangan Jamu di Indonesia

Bagi kalangan rakyat menengah ke bawah, kondisi ekonomi tersebut dirasakan cukup berat. Bahkan untuk membeli kebutuhan pokok seperti gula, beras, dan minyak tanah, penduduk harus antri berjam-jam dalam deretan panjang.

Bahan kebutuhan dasar tersebut hilang dari pasaran, namun Soekarno tidak mau disalahkan atas melonjaknya harga yang sebenarnya merupakan dampak blunder kebijakan ekonomi pemerintah, sehingga membuat rakyat semakin kecewa.

Penulis : Almarani Anantar Editor : Gading-Persada

Sumber : Tribunnews.com


TERBARU