> >

Pakar TPPU Jelaskan Dasar Hukum Merahasiakan Dokumen Laporan Dugaan Transaksi Keuangan Mencurigakan

Hukum | 27 Maret 2023, 18:40 WIB
Yenti Garnasih dalam dialog Kompas Petang, Senin (27/3/2023) menjelaskan dasar hukum kewajiban merahasiakan dokumen tentang dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menjelaskan dasar hukum kewajiban merahasiakan dokumen tentang dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan.

Menurut Yenti, hal itu diatur dalam Pasal 11 Unddang-Undang TPPU, yakni pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, dalam hal ini berkaitan dengan harta kekayaan yang mencurigakan itu, harus merahasiakan.

“Jadi tidak boleh dia membuka, kecuali di pengadilan ya,” kata dia dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Senin (27/3/2023).

Menurutnya, ada kekhawatiran bahwa pelaku transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut akan segera mengambil uangnya dan melarikan diri.

“Takutnya kalau dia membuka, kemudian orang-orang yang terlaporkan, rekeningnya terlaporkan itu, kalau dari kami, dari hukum pidana itu, hanya khawatir nanti keburu diambil, keburu lari, jadi pengadilan tidak ada gunanya juga.”

Baca Juga: Benny Harman Jawab Tantangan Mahfud MD: Jangan Mencla Mencle

Dalam dialog itu, Yenti juga menilai pemanggilan pihak PPATK oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) sudah seharusnya dilakukan.

Ia menyebut, sejak dua pekan lalu, ketika ada berita dan informasi bahwa DPR akan memanggil PPATK dan KPK terkait laporan PPATK, dirinya sudah berpikir bahwa seharusnya mereka dipanggil oleh presiden terlebih dahulu.

“Saya sudah bilang, sebetulnya sebelum dipanggil DPR, waktu itu masih KPK ya karena LHKPN kan. KPK, Menteri Keuangan, PPATK, semuanya di bawah presiden, harusnya dipanggil dulu.”

“Waktu itu DPR sudah ada suara-suara. Kita aja tahu kok DPR memanggil, ya memang harusnya begitu. Sebelum besok dipanggil DPR ya harusnya ada pertemuan dulu, dipanggil semuanya dulu,” ia menegaskan.

Pemanggilan oleh DPR dinilainya merupakan sesuatu yang wajar, karena DPR merupakan wakil rakyat, sehingga harus menengahi adanya berita yang simpang siur.

“Kan memang beritanya simpang siur, nah DPR sebagai wakilnya rakyat harus menengahi ini, karena kan tiba-tiba PPATK mengatakan bahkan sekian orang dari pegawai Kemenkeu, dari 67 menjadi 400 sekian, kemudian dikatakan ini adalah dugaan TPPU.”

“Sempat juga ada yang mengatakan tidak ada TPPU nya, kemudian ada, tapi tidak ada korupsinya. Kok bisa gitu, sejak awal. Mereka juga mengatakan, PPATK bahwa ini hanya pajak dan bea cukai. Kalau pajak dan bea cukai itu kemudian ada yang terlibat adalah pejabatnya, ya KPK (yang menagani),” urainya.

Sebelumnya, dalam dialog yang sama, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyebut, secara aturan, laporan data transaksi keuangan yang mencurigakan dari PPATK merupakan sesuatu yang sangat rahasia, dan tidak boleh diungkap sebelum ada verifikasi.

“Secara aturan sebenarnya itu sangat rahasia ya, secara aturan. Tidak boleh dibuka, diungkap ke publik sebelum ada verifikasi dari para pihak,” kata dia.

“Ini yang membuat satu pertanyaan dari teman-teman, apakah data yang diberikan oleh PPATK kepada Komite Nasional TPPU ini bisa diungkap di publik?”

Menurut Ahmad Sahroni, tidak ada aturan yang mengharuskan untuk membuka data itu kepada publik.

Baca Juga: Jelang Pertemuan Bahas Transaksi Janggal Kemenkeu, Mahfud MD: Pemerintah Bukan Bawahan DPR!

“Maka itu, Komisi III besok akan meminta secara detail hasil laporan analisa dari PPATK kepada Pak Menko yang sudah diberikan.”

Dari situ, lanjut dia, dapat diketahui dampak dari hal-hal yang disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD tersebut.

“Kalau kepada penegak hukum, harusnya nanti kita akan rekomendasikan dari apa yang kita terima untuk diberikan langsung pada penegak hukum.”

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU