> >

Pakar Hukum Tata Negara NIlai Kasus Pelanggaran HAM Mentok di Kejaksaan, Alasannya Kurang Bukti

Hukum | 21 Januari 2023, 06:35 WIB
Foto dokumentasi. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV. Ia menyebut langkah pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu dipengadilan masih disangsikan (Sumber: Tangkapan layar KOMPAS TV)

Isnur menambahkan dalam catatannya seringkali pendekatan pemerintah dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu dilakukan dengan pola-pola pemberian kerahiman atau islah. Hal ini agar korban atau keluarga korban tidak melanjutkan tuntutan. 

Jika pola ini terus berlanjut maka, bisa saja pelanggaran HAM tidak masuk ke pengadilan, namun selesai di tahap dasar dengan pemberian kerahiman dan pola lain yang serupa. 

Baca Juga: PBB Sambut Baik Pengakuan Presiden Joko Widodo atas Pelanggaran HAM, Desak Langkah Nyata bagi Korban

"Jadi korban meyakini inilah cara untuk tidak meneruskan yudisialnya. Itu yang di beberapa peristiwa terjadi," ujarnya.

"Kalau ada penyelesaian, ada pemberian tanpa ada suatu keadilan itu suatu yang ilusi," sambung Isnur. 

Di kesempatan yang sama Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Mugiyanto menegaskan kata-kata kerohiman tidak ada dalam pernyataan Presiden Jokowi saat menerima rekomendasi tim PPHAM. 

Pemerintah mengikuti prinsip internasional sehingga istilah yang dipakai adalah pemulihan. Pemulihan ini bukan diwujudkan dengan bantuan. 

 

Mugiyanto menjelaskan langkah non-yudisial yang saat ini ditempuh bukan berarti tidak membawa kasus pelanggaran HAM ke yudisial.

Presiden Jokowi sudah menjamin akan membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan dan ditegaskan kembali oleh Menkopolhukam Mahfud MD.

Menurut Mugiyanto mekanisme non-yudisial dikerjakan karena pemerintah ingin memprioritaskan korban. 

"Karena ada urgensi karena korban yang terlalu lama menunggu," ujar Mugiyanto.


 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU