> >

Dua Pakar Tata Negara Beri Pandangan soal Kegentingan dan Partisipasi Publik pada Perppu Cipta Kerja

Hukum | 12 Januari 2023, 20:55 WIB
Pakar hukum tata negara Refly Harun (kiri) dan Yusril Ihza Mahendra (kanan) memberi pandangan mengenai kegentingan dan partisipasi publik terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja dalam program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Kamis (12/1/2023). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja, telah mengundang kontroversi.

Salah satunya mengenai kegentingan dan substansi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai kegentingan penerbitan Perppu Cipta Kerja dilihat dari masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak cukup untuk membuat Undang-Undang (UU).

Menurut Yusril, jika pemerintah membuat UU lagi dan dilanjutkan oleh pemeritahan selanjutnya, perlu waktu sekiranya dua tahun agar UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR.

Baca Juga: Mahfud MD: Perppu Cipta Kerja Dibuat karena Situasi Ekonomi Global

Sementara waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU Cipta Kerja hanya dua tahun dengan batas waktu pada 25 November 2023.

"Kalau bentuknya UU diserahkan ke DPR perlu waktu satu tahun, pemerintah masih tersisa kurang dari satu tahun untuk menyelesaikan masalah yang didasarkan pada masalah UU Cipta Kerja yang diuji MK," ujar Yusril dalam program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Kamis (12/1/2023).

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai seharusnya dari 1.117 halaman dan 186 pasal pada UU Cipta Kerja, pemerintah memisahkan yang sifatnya genting dan mana yang bisa diselesaikan dengan aturan normal, atau UU.

"Kalau kita berbicara kegentingan yang memaksa, memang ukuran pastinya tidak ada. Tapi pasti ada rasionalitasnya. UU itu 1.117 halaman. Kira-kira mana yang genting, mana yang kira-kira dengan legislasi normal saja," urai Refly.

Dia juga menilai Perppu Cipta Kerja malah lebih mundur dari UU Cipta Kerja dalam bidang partisipasi masyarakat. 

Baca Juga: Keberpihakan DPR Bakal Diuji dalam Pengesahan Perppu Cipta Kerja

Saat pembentukan UU Cipta Kerja, kata dia, masih ada partisipasi masyarakat walau terbatas, dan ada proses normal yang melalui DPR. 

Namun pada penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak ada partisipasi masyarakat, dan sesampainya di DPR, legislatif hanya sebatas menolak dan menerima Perppu.

"Jadi substansi agar dibentuk undang-undang yang partisipatif itu tidak terjadi. Jadi ini yang dianggap kemudian kok seolah-olah membangkang putusan MK."

"Karena MK mengatakan dua tahun itu bukan untuk membuat perppu tapi legislasi normal. Makanya dikasih waktu dua tahun," ujar Refly.

Ketika ditanya apakah perppu memang harus melibatkan partisipasi publik, Refly mengatakan "Oh enggak. Justru saya mengatakan seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah perppu ini dijadikan rancangan undang-undang yang harus diajukan kepada DPR."

"Lalu DPR punya time frame kan. Bersama pemerintah untuk menyelesaikan itu selambat-lambatnya sebelum 25 November 2023 agar kemudian bisa catch up dengan waktu yang ditentukan oleh MK."

Adapun Perppu Cipta Kerja ini diteken Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022.

Baca Juga: Tolak Perppu Cipta Kerja, AHY: Tak Ada Kegentingan

Diterbitkannya Perppu Cipta Kerja untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konsitusi.

"Pertimbangannya adalah pertama kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi," ujar Menko Airlangga Hartarto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat, 30 Desember 2022.

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU