> >

Duduk Perkara Uji Materiil UU Pemilu di MK Terkait Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Rumah pemilu | 9 Januari 2023, 15:07 WIB
Ilustrasi pemilu. Soal pemilu ditunda, MUI, PBNU dan PP Muhammadiyah buka suara (Sumber: KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD )

“Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Dalam praktiknya, calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu berdasaekan sistem suara terbayak tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati lembaga kepartaian, lemahnya loyalitas pada partai politik dan tidak tertib pada garis komando kepengurusan partai politik," jelas Sururudin, Rabu (23/11/2022).

Hal ini akan berakibat pada krisis kelembagaan partai politik dalam berbangsa dan bernegara,” imbuhnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.

Baca Juga: Ini 4 Alasan PDIP Dukung Pemilu Sistem Proporsional Tertutup Meski Ditentang 8 Parpol Lain

Biaya Pemilu Sangat Mahal

Sururudin mengatakan, para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Ia menguraikan salah satu masalah tersebut, yakni menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat. 

Sebab, caleg akan terdorong melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga pembatalan pasal-pasal a quo akan mengurangi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pelilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

“Adanya sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo," jelas Sururudin.

"Apabila melihat sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup di mana pemilih hanya memilih partai politik karena sejatinya bedasarkan UUD 1945 kontestan pemilu legislatif adalah partai politik, kemudian partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota."

"Oleh karena itu, dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya."

Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Bangunan Argumentasi

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan agar para Pemohon menguraikan kedudukan hukum, terutama soal kerugian yang bersifat faktual dan konkret.

“Selain itu, para Pemohon juga bisa membuatkan matriks perbandingan dari sistem terbuka dan tertutup dalam pelaksanaan pemilu yang misalnya biaya tinggi, memunculkan liberalis, kedaulatan partai dan lainnya. Bisa diuraikan lebih jelas lagi dalam perbaikan permohonan nantinya,” kata Arief.

Sidang perdana perkara yang terdaftar di MK dengan Nomor 114/PUU-XX/2022 itu diselenggarakan pada 23 November 2022 dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan I.

Sedangkan seminggu lagi, tepatnya pada tanggal 17 Januari 2023, sidang akan mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan Pihak Terkait yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV/Mahkamah Konstitusi


TERBARU