> >

Debat Pasal Menyerang Presiden di KUHP Baru: DPR Sebut Aduan Haris Azhar Nilai Jabatan Bisa Dikritik

Hukum | 10 Desember 2022, 08:08 WIB
Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (kiri) dan Anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid dalam program Dua Arah KOMPAS TV, Jumat (9/12/2022). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid berharap masyarakat dapat membaca dengan utuh pasal-pasal yang ada di KUHP baru.

Hal ini untuk mencegah informasi keliru soal pasal-pasal yang ada dalam KUHP baru. Semisal pasal yang ramai diperbincangkan yakni soal perzinaan bukan pasangan suami istri. 

Jazilul menjelaskan aturan tersebut masuk dalam delik aduan dan tidak sembarang orang yang bisa mengadu adanya tindak pidana perzinaan bukan suami istri. 

Pihak yang bisa mengadu adalah orang berkepentingan. Yakni suami atau istri yang memiliki ikatan perkawinan dan orangtua atau anak dari ikatan perkawinan, bukan orang lain. 

Baca Juga: Masih Ada Pasal di RKUHP yang Bermasalah, Masa Peralihan Akan Alot Karena Multitafsir?

Begitu juga dengan aturan mengenai menyerang harkat martabat presiden dan wakil presiden.

Aturan ini, sambung Jazilul, merupakan delik aduan yang bisa diproses jika ada laporan dari presiden atau wakil presiden.

"Presiden juga harus melakukan pengaduan terhadap itu, jadi tidak semudah misalkan seseorang menyampaikan penghinaan terhadap presiden tiba-tiba ditangkap nggak bisa," ujar Jazilul di program Dua Arah KOMPAS TV, Jumat (9/12/2022) malam.

Lebih lanjut Jazilul menjelaskan dalam pasal peralihan juga dijelaskan ada waktu tiga tahun untuk melakukan sosialisasi kepada aparat penegak hukum dan masyarkat agar nantinya KUHP baru berlaku dengan baik.

Baca Juga: Interupsi dan “Walk Out” Warnai Pengesahan RKUHP di Paripurna DPR

"Ini sudah menjadi Undang-Undang saatnya kita, mensosialisasikan kepada masyarakat kepada aparat penegak hukum," ujarnya. 

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menilai dalam sosialisasi KUHP baru aparat penegak hukum harus diingatkan kritik berbeda dengan menyerang harkat martabat presiden dan wakil presiden.

Menurut Haris menyerang harkat martabat presiden dan wakil presiden mengarah pada penghinaan dan bersifat individu. Sedangkan kritik lebih kepada jabatan yang diemban oleh presiden.

"Jabatan tidak memiliki martabat, yang punya martabat adalah orang-orangnya. Jadi jabatan itu memang harus di kritik, dan penghinaan itu hanya kepada orang bukan kepada jabatan," jelas Haris. 

 

Adapun aturan tentang menyerang harkat martabat presiden dan wakil presiden ini tertuang dalam Pasal 217 hingga 220 KUHP baru. 

Berikut isi Pasal 217 hingga 220 KUHP baru:

Pasal 217
Setiap orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana  penjara paling lama 5 tahun. 

Pasal 218
Ayat (1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan  pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Ayat (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220
Ayat (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU